"Nama saya Zane, asal California, sudah 27 tahun tinggal di Krui," begitu ia memperkenalkan diri pada saya saat bertemu di pantai Krui, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung.
Saya berkunjung ke Krui beberapa waktu lalu untuk menyaksikan sendiri keindahan pantai dan ombaknya. Di pantai itu, saya bertemu pak Zane, orang Amerika yang tinggal di Krui dan mendirikan sebuah lembaga masyarakat bernama "Krui Kecah-ko", berasal dari bahasa Krui yang artinya semacam "Clean Krui" atau "Krui Bersih".
Tak banyak yang mengetahui keindahan alam, khususnya deburan ombak di kota Krui. A hidden paradise, begitu saya menyebutnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Krui.
Lokasi Krui, ibu kota Pesisir Barat, tidak mudah dicapai. Dari kota Bandarlampung kita harus menempuh perjalanan darat sekitar 6 hingga 8 jam. Ada sih penerbangan menggunakan pesawat Susi Air dari bandara Radin Inten II ke bandara Taufiq Kemas di Krui. Namun jadwalnya hanya dua kali seminggu. Itupun selalu penuh karena kapasitas pesawat hanya sekitar 12 orang. Jadi saya lebih memilih menggunakan jalur darat. Selain lebih santai, juga bisa menikmati pemandangan jalan di Provinsi Lampung, termasuk menembus Bukit Barisan sebelum mencapai Pesisir Barat.
Apa yang spesial dari Krui? Jelas, pantai dan ombaknya. Kota kecil berpenduduk sekitar 160 ribu jiwa itu memiliki garis pantai yang panjang dan gelombang ombak pantai selatan yang unik. Ketinggian ombaknya bisa mencapai 3 meter dengan panjang gelombang hingga 150-300 meter. Gelombang yang sempurna untuk berselancar atau surfing. Tak heran kalau World Surf League secara rutin dilakukan di Krui. Para peselancar dunia berlomba-lomba datang ke Krui untuk menikmati keindahan gelombang di sini.
Saya terduduk dan terkesima saat melihat keindahan pantai dan gelombang di Krui. Saya berpindah-pindah dari satu titik, dari tanjung setia hingga labuhan jukung, untuk menyaksikan para peselancar melakukan aksinya. Sungguh seru. Para atlet mancanegara setiap tahun hadir di kompetisi World Surf League yang dinamakan Krui Pro QS 5000. Kompetisi ini telah dilakukan sejak tahun 2017 dan selalu ramai dihadiri para surfer dan turis mancanegara. Krui Pro 2024 lalu dibuka dan dihadiri pula oleh Menpora RI, Dito Ariotedjo.
Kembali ke Pak Zane, ia datang ke Krui 27 tahun lalu. Usianya kini sekitar 60 tahun. Istrinya orang Indonesia, dan ia memiliki 3 orang anak, tetapi 1 orang anak telah berpulang beberapa tahun lalu. Anaknya sudah menikah dengan orang Indonesia juga, dan telah memberikan cucu pada pak Zane.
Di masa muda, Pak Zane adalah seorang penggila surfing. Ia berpindah-pindah tempat, dari California, Amerika Latin, Pasifik, hingga ke Lombok, Bali, Yogya, semata untuk menikmati ombak-ombak guna berselancar. Begitu ia tiba di Krui, awal tahun 90-an, hatinya langsung jatuh cinta. Tertambat sepenuhnya pada ombak Krui. "Saya belum pernah merasakan ombak berselancar seindah Krui," katanya. Sambil menerawang ia mengingat masa-masa mudanya berselancar setiap hari di keindahan ombak Krui.
Ia kemudian memutuskan untuk tinggal di Krui. Sebuah keputusan yang tidak ia sesali karena ia begitu mencintai Krui. Ia berkeluarga beranak cucu, mendirikan penginapan kecil, bahkan kini anaknya membuka sebuah restoran pizza di Krui.
Namun kini Pak Zane mengaku sedih. Krui tak seperti 27 tahun lalu. Semakin ramainya Krui, di satu sisi membangkitkan perekonomian kota kecil itu. Pertumbuhan konsumsi masyarakat, meningkatnya pendapatan dari turisme, maraknya muncul cottage atau penginapan di sepanjang pantai, telah mampu meningkatkan geliat perekonomian masyarakat. Namun hal itu bukannya tanpa masalah. Satu masalah nyata yang terlihat adalah semakin menumpuknya sampah, baik di pemukiman maupun di daerah wisata.
Kalau kita berjalan ke pantai, kita akan melihat banyak kaleng plastik dan botol bergelimpangan. Di muara sungai juga kita melihat tumpukan-tumpukan sampah.