“The truth is I never left you…”. Lirik lagu Don't Cry for Me, Argentina itu dapat menggambarkan kondisi Rupiah saat ini. Meski terus tertekan hingga sempat menembus level Rp.13.400 per dolar AS, bangsa Indonesia sepantasnya tetap mencintai Rupiah.
Kita melihat banyak pihak mulai saling menyalahkan seiring dengan terjadinya pelemahan Rupiah. Namun umumnya, kritik mereka lebih mengaitkan Rupiah agar terbawa pada isu-isu di sosial media, yang tidak berhubungan langsung dengan pelemahan Rupiah, seperti soal tanggal lahir Presiden Soekarno, soal PSSI, dan trending topic lainnya. Padahal, untuk mengetahui mengapa Rupiah melemah, kita perlu melihat pada penyebab mendasar, yang sering disebut sebagai faktor fundamental ekonomi.
Tak dapat dipungkiri bahwa pelemahan Rupiah saat ini perlu dicermati dengan hati-hati, karena apabila pelemahan mata uang terjadi secara terus menerus dan dalam level yang signifikan, pada ujungnya akan membebani kehidupan masyarakat, terutama yang memiliki kewajiban dan kebutuhan valuta asing.
Pertanyaan yang kerap muncul adalah, sampai kapan Rupiah tertekan? Apakah betul komentar dari orang Singapura bahwa Rupiah akan mencapai Rp.25.000 per dolar AS? Atau kapan Rupiah kembali ke level, misalnya, di bawah Rp10.000? Ini adalah pertanyaan mendasar yang kerap ditanyakan orang sehari-hari.
Untuk menjelaskannya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu, apa yang membuat nilai mata uang suatu negara menguat atau melemah. Pada dasarnya, penguatan atau pelemahan suatu mata uang, termasuk Rupiah, sangat dipengaruhi permintaan dan penawaran akan mata uang tersebut. Ini hukum dasar dari pasar. Apabila permintaan terhadap dolar AS tinggi, dan penawarannya sedikit, otomatis harganya akan naik. Rupiah akan melemah. Sebaliknya juga demikian.
Permintaan dan penawaran mata uang ini, dipengaruhi oleh daya saing perekonomian suatu negara. Bila sebuah perekonomian memiliki daya saing tinggi, mata uangnya akan lebih stabil dan cenderung menguat. Sebaliknya, bila daya saing ekonomi suatu negara rendah, mata uangnya akan cenderung melemah. Itu nature yang memengaruhi nilai mata uang suatu negara.
Lalu, bagaimana melihat daya saing ekonomi kita? Cara paling mudah melihat daya saing adalah mencermati posisi Neraca Pembayaran, khususnya di bagian Neraca Transaksi Berjalan (Current Account). Kondisi neraca transaksi berjalan suatu negara ini sangat penting untuk memengaruhi stabilitas ekonomi. Hal ini membuat Bank Indonesia menggarisbawahi secara khusus tingkat defisit yang sehat bagi Indonesia, sebesar 2,5-3 persen defisit yang dijaga.
Penting dijaga karena negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, akan mengalami kebutuhan valas lebih besar dari persediaannya. Di sisi lain, bisa juga disebabkan oleh impornya yang lebih tinggi dari ekspor. Untuk menutupi defisit tersebut tentu dibutuhkan tambahan valas. Dengan demikian, secara teori, negara yang mengalami defisit transaksi berjalan, nilai mata uangnya akan cenderung melemah.
Hal ini yang terjadi pada Indonesia. Selama ini, kita mengalami defisit pada neraca transaksi berjalan. Kecenderungannya mata uang Rupiah secara natural akan melemah mengikuti permintaan dan penawaran di pasar.
Negara tentu bisa saja mengendalikan kestabilan dengan menarik investor asing agar menanamkan dana valasnya di dalam negeri. Apabila banyak investor masuk ke Indonesia, pasokan dolar AS akan bertambah sehingga mengurangi dampak pelemahan. Namun bila kepercayaan terhadap suatu negara rendah, atau ada daya tarik lain di luar negeri, investor akan enggan menanamkan dananya. Cara lain untuk menambah pasokan dolar adalah dengan memanfaatkan cadangan devisa atau menerbitkan surat utang.
Sebagai perbandingan dan analogi, kita melihat tahun lalu defisit transaksi berjalan Indonesia sekitar 2,95 persen dari PDB. Sementara Turki mengalami defisit transaksi berjalan sebesar 5 persen, atau hampir dua kali Indonesia. Brasil mengalami defisit neraca berjalan mencapai 8 persen. Melihat perbandingan tersebut, secara natural kita melihat, saat terdapat tekanan terhadap mata uang, mata uang Brasil dan Turki lebih melemah dari Rupiah.
Di sisi lain, Peso Filipina dan Baht Thailand relatif stabil dalam menghadapi tekanan. Hal itu dapat dijelaskan dari posisi neraca berjalan kedua negara tersebut yang mencatat surplus. Filipina mencatat surplus 3,5 persen dari PDB, sementara Thailand mencatat surplus sekitar 2,2 persen.
Sebenarnya Indonesia memiliki modal dasar yang baik. Kita melihat pemerintah telah berupaya melakukan perbaikan ekonomi dalam jangka menengah panjang. Penghapusan subsidi, pembangunan infrastruktur, dan langkah meningkatkan efisiensi ekonomi, adalah langkah tepat, namun memang membutuhkan waktu untuk memetik hasilnya.
Di jangka pendek, kita melihat bahwa saat ini meski tekanan inflasi meningkat jelang Ramadhan dan Idul Fitri, secara tahunan masih terkendali. Di sisi lain, cadangan devisa Indonesia juga masih relatif tinggi, Stabilitas sistem keuangan masih solid, dan indikator risiko Credit Default Swap (CDS) Indonesia masih baik.
Permasalahan terhadap mata uang, bisa datang juga dari sisi eksternal. Saat ini yang terjadi adalah fenomena Superdollar, yang artinya Dolar AS menguat hampir pada seluruh mata uang dunia. Perkembangan di AS dan Eropa sangat memengaruhi pergerakan mata uang di seluruh dunia saat ini. Rencana bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga, serta langkah pelonggaran moneter dari Bank Sentral Eropa, telah memengaruhi “selera” para investor dunia. Saat terjadi perkembangan yang membaik di AS misalnya, mereka menukar dolarnya di berbagai negara, dan kembali menanamkannya di AS. Hal inilah yang menyebabkan pelemahan mata uang bukan hanya terjadi pada Rupiah, namun pada hampir seluruh mata uang dunia.
Dengan modal yang kita miliki saat ini, Rupiah masih memiliki kemampuan untuk bertahan dari tekanan. Bank Indonesia sebagai bank sentral setiap saat melakukan intervensi di pasar valas untuk menjaga agar tidak terjadi gejolak yang berlebihan.
Meski demikian, kita menyadari bahwa untuk menjadikan Rupiah memiliki ketahanan yang berkelanjutan, tidak ada cara singkat, selain kita semua membulatkan tekad untuk memperbaiki masalah utama, yaitu defisit transaksi berjalan.
Bagaimana caranya? Tentu bukan dengan saling menyalahkan, karena kita semua memiliki peranan dalam memperbaiki defisit. Pemerintah tentu harus konsisten dalam meningkatkan ekspor, meningkatkan produktivitas terutama produk pertanian (pangan), membangun infrastuktur, ketahanan energi, memperbaiki iklim investasi, dan menggalakkan penggunaan Rupiah di dalam negeri.
Bank Indonesia terus mengendalikan stabilitas, dengan fokus pada inflasi dan mencermati tingkat defisit transaksi berjalan. Kebijakan moneter berhati-hati juga diperlukan dalam mengawal stabilitas.
Sementara itu, dunia usaha dituntut untuk semakin kreatif mencari substitusi bahan baku impor, melakukan perhitungan cermat pada pinjaman luar negerinya, dan meningkatkan daya saing.
Anak muda Indonesia juga dituntut mampu menciptakan produk kreatif yang mampu bersaing di luar negeri. Di tingkat individu dan rumah tangga, kita semua dituntut untuk waspada dan mencoba mengurangi ketergantungan pada barang impor, termasuk makanan, buah impor, kaos impor, hingga gadget impor.
Sementara perbaikan tersebut dilakukan, saat ini Rupiah bergerak sesuai dengan fundamentalnya. Inilah kondisi yang harus kita hadapi bersama-sama. Perbaikan memang selalu membutuhkan proses, ketekunan, dan kesabaran. Namun, bila itu dapat terwujud nanti, kita tak perlu menangisi Rupiah lagi. Don't Cry for Me, Rupiah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H