Lihat ke Halaman Asli

Junanto Herdiawan

TERVERIFIKASI

Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Membawa Radikalisme Islam Indonesia ke Jepang

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1350916336186640199

[caption id="attachment_212638" align="aligncenter" width="614" caption="Garin Nugroho berpose usai pemutaran film "The Blindfold" / photo junanto"][/caption]

Berbicara mengenai Islam, termasuk Islam Indonesia, ke orang Jepang tidaklah mudah. Mereka memiliki persepsi bahwa Islam itu agama yang penuh kekerasan. Persepsi itu tak bisa disalahkan sepenuhnya. Berbagai aksi terorisme, intoleransi, yang juga terjadi di tanah air, mewarnai berbagai media massa yang mereka baca. Hampir sebagian besar orang Jepang yang saya temui, saat ditanya bagaimana pandangan mereka tentang Islam, umumnya menjawab seperti itu.

Namun kemarin (22/10), pandangan itu mulai terkikis, setidaknya pada beberapa orang Jepang yang hadir saat diputarnya film “Blindfold” karya sutradara Indonesia, Garin Nugroho. Saya diajak oleh mbak Jane, diplomat muda KBRI Tokyo yang juga peduli pada perkembangan sosial budaya Indonesia, untuk menyaksikan pemutaran film tersebut, serta hadir pada simposiumnya, di Toho Cinema, Roppongi.

The Blindfold atau “Tutup Mata”, diputar dalam rangkaian acara Tokyo International Film Festival (TIFF 2012). Festival itu digelar di wilayah Roppongi, Tokyo, dari tanggal 20-28 Oktober 2012. Selain The Blindfold, film Indonesia lain yang diputar adalah Soegija (Garin Nugroho), Atambua 39 derajat (Mira Lesmana, Riri Riza), dan Postcard (Edwin). Bioskop Toho siang itu penuh dengan para pencinta film, wartawan, dan masyarakat Jepang lainnya.

Film The Blindfold membuka pandangan  orang Jepang, dan banyak orang asing, mengenai radikalisme Islam di Indonesia. Film ini sempat diputar juga di berbagai festival film internasional, seperti di Belanda, Australia, dan Amerika. Bukan hanya orang Jepang atau orang asing, tapi saya sebagai orang Indonesia juga kaget saat mengetahui bagaimana proses tumbuh dan berkembangnya radikalisme dan intoleransi beragama di tanah air.

Secara umum, The Blindfold berkisah tentang proses perekrutan kader Islam radikal di Indonesia, yang ingin membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Para anak muda yang direkrut menjadi kelompok radikal itu, dibawa ke suatu tempat untuk dibaiat, dengan ditutup matanya. Menurut Garin Nugroho di forum  tanya jawab setelah pemutaran film, The Blindfold diambil dari kisah nyata. Ia melakukan riset dan survei ke banyak keluarga yang anak-anaknya hilang karena direkrut gerakan radikal NII.

[caption id="attachment_212639" align="aligncenter" width="614" caption="Suasana Simposium Film Blindfold di Toho Cinema, Roppongi / photo junanto"]

13509164531137056644

[/caption]

Karena mengangkat tema radikalisme agama, film ini tentu menjadi sangat sensitif. Garin mengatakan bahwa  ia sering menerima ancaman pembunuhan atau penculikan, baik melalui sms atau telpon gelap. Tapi baginya, itu hal biasa. Tujuannya mengangkat kisah tersebut adalah agar dunia internasional memahami bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan cinta damai.

Permasalahan radikalisme muncul karena berbagai alasan, baik soal ekonomi ataupun masalah sosial lainnya. Di Blindfold, Garin mengangkat kisah tiga orang anak muda dengan berbagai latar belakang, termasuk yang mengalami kegalauan dalam hidupnya dan tidak memiliki prospek. Rima, anak muda cerdas yang menjadi tulang punggung gerakan, Jabir yang drop out dari pondok karena kekurangan biaya dan dijanjikan surga kalau mau melakukan aksi bom bunuh diri, dan Aini, yang diculik oleh NII untuk dijadikan anggotanya. Garin ingin menunjukkan bahwa radikalisme bisa terjadi pada berbagai segmen anak muda di tanah air.

Pak Muchlis, sang pemimpin gerakan, mampu meyakinkan anak-anak muda itu tentang pentingnya “hijra” menuju yang “haq” dengan mengutip potongan-potongan ayat Al Qur’an. Hijra, diterjemahkan sebagai membentuk NII dan tidak mengakui Republik Indonesia, yang dianggapkan kafir (toghut). Anak muda dari berbagai kalangan terbius dan mengikuti ajaran dari gerakan tersebut, lalu lari meninggalkan keluarganya. Garin ingin menunjukkan bahwa radikalisme bisa terjadi pada berbagai segmen anak muda di tanah air.

Penjelasan mengenai radikalisme dan terorisme kerap disampaikan dalam bahasa yang formal dan kaku. Kadang kita melihat melalui berita televisi ataupun buku-buku dan tulisan formal yang kerap "menakutkan". Tapi melalui bahasa film, Garin mampu menggambarkan kondisi nyata di lapangan dengan ringan dan menarik. Dari sisi sinematografi, nama Garin Nugroho adalah sebuah jaminan bagi film Indonesia. Jadi, meski film ini tergolong dalam kelas “low-budget”,  ia tetap memiliki dampak yang sangat besar, terutama bagi orang asing.

Usai film diputar, banyak orang Jepang yang mengangguk-angguk dan mulai terbuka pandangannya tentang latar belakang tumbuhnya gerakan radikalisme Islam di tanah air. Mereka juga menyadari bahwa radikalisme dan terorisme bukanlah ajaran Islam. Bahkan banyak orang Islam yang mengecam aksi terorisme dengan mengatasnamakan Islam.

Di sini, kita melihat bahwa diplomasi film terbukti efektif dalam menyampaikan pesan-pesan yang kadang berat dan penuh sensitivitas. Lewat film, berbagai pesan itu bisa disampaikan dengan ringan dan tepat sasaran. Semoga semakin banyak film Indonesia yang mampu berkiprah di luar negeri dan mengharumkan nama bangsa. Salam film Indonesia.

[caption id="attachment_212640" align="aligncenter" width="456" caption="Penggemar film Jepang meminta tanda tangan Garin / photo junanto"]

13509165212073422041

[/caption] [caption id="attachment_212641" align="aligncenter" width="614" caption="Blindfold, Soegija, dan Postcard, beberapa film Indonesia yang diputar di TIFF / photo junanto"]

1350916571702354802

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline