[caption id="attachment_201224" align="aligncenter" width="538" caption="Masyarakat Indonesia usai sholat Ied di perumahan Warga Jepang / photo junanto"][/caption] Andai ada gerakan sweeping umat beragama lain di kota Tokyo, mungkin lebaran kami kemarin tak bisa berjalan dengan tenang dan damai. Malam hari, sebelum Idul Fitri di Jepang (19/8), saya datang ke Balai Indonesia atau Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) di wilayah Meguro. Di bangunan SRIT itu, umat Islam Indonesia secara rutin melakukan berbagai kegiatan ibadah. Bahkan kalau hari Jum’at, saya melakukan sholat Jum’at di sana. Pada bulan Ramadhan, kegiatan umat Islam Indonesia di Jepang juga dipusatkan di SRIT. Bukan hanya tarawih, tapi juga kegiatan seperti pesantren, keputrian, bazaar, dan juga ikhtikaf (menginap), pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Namun ada satu hal menarik dari kegiatan keagamaan di SRIT tersebut. Sekolah ini terletak di kawasan perumahan yang tenang, di wilayah Meguro, Tokyo. Di kiri kanannya terletak rumah-rumah masyarakat. Umumnya mereka adalah orang Jepang yang mendambakan kehidupan sepi dan tenang. Untuk menjaga ketenangan itulah, kami dilarang menggunakan pengeras suara dalam beribadah. Jadi, jangan harap bisa mendengar suara adzan yang pekik, atau suara tilawah dan pengajian ibu-ibu yang keras, seperti di Indonesia. Pengeras suara boleh digunakan, sepanjang suaranya hanya di dalam ruangan. Tapi ya namanya ibadah, apalagi kalau bulan Ramadhan tiba, pastinya ramai dan menarik perhatian. Sesekali kami membuat keramaian. Kalau Sholat Jum’at, deretan mobil dan masyarakat Indonesia memenuhi halaman SRIT. Beberapa kali pula di halaman SRIT diadakan bazaar yang ramai dan dipadati umat. Puncaknya, ya apalagi kalau bukan saat Sholat Ied. Kemarin (20/8) , sekitar 3500 orang, yang sebagian besarnya adalah masyarakat Indonesia, datang ke SRIT. Usai sholat, mereka membludak, luber ke depan rumah-rumah orang Jepang di sekitar kompleks. Beberapa bahkan ada yang nongkrong di depan pagar rumah. Saya melihat satu ibu dan anaknya yang tidak bisa menjalankan mobilnya, karena masyarakat Indonesia berkerumun memenuhi jalan saat bubaran sholat. Tampak di satu dua rumah ada yang mengintip dari jendela, melihat keramaian apa yang terjadi. Maklum hari itu adalah Minggu pagi. [caption id="attachment_201225" align="aligncenter" width="538" caption="Ibu ini bertanya2 karena mobilnya tertutup keramaian / photo junanto"]
[/caption] Sesekali kami menerima protes dari tetangga. Protes biasanya diajukan melalui surat langsung ke Kepala Sekolah SRIT ataupun ke kepolisian setempat. Mereka umumnya terganggu dengan keramaian yang muncul dari ibadah umat Islam. Tapi tidak ada tekanan apa-apa, selain hanya meminta kita untuk tidak berisik dan menjaga ketertiban. Kecurigaan pada Islam tentu ada. Secara rutin, kepolisian Tokyo melakukan patroli dan pengawasan melekat terhadap ibadah umat Islam di SRIT, dan juga di seluruh Masjid di Jepang. Persepsi dan paradigma tentang Islam yang radikal, tentu menjadi salah satu alasan dilakukannya pengawasan itu. Namun permasalahan yang kami hadapi hanya sebatas itu saja. Tegoran formal dari tetangga, dan pengawasan dari polisi setempat. Selebihnya, kami bebas melakukan ibadah tanpa tekanan. Mau jumatan, tarawihan, pengajian, hingga sholat Ied, bisa kami lakukan tanpa adanya unsur ketakutan dan tekanan. Polisi yang mengawasi kami bahkan sangat ramah. Namanya Inspektur Yamaguchi. Ia fasih mengucapkan “Assalamu’alaikum” dan “Alhamdulillah”. Ia memonitor setiap kegiatan keagamaan di SRIT. Tapi yang menarik, ia tidak rewel minta amplop atau kopi kalau sedang menjaga ibadah kami. Meski sepanjang waktu ia bertugas sambil berdiri, tak pernah ia minta macam-macam pada kami. [caption id="attachment_201244" align="aligncenter" width="538" caption="Bersama inspektur polisi Jepang yang memonitor kegiatan agama di SRIT"]
[/caption] Ibadah di SRIT dan kota Tokyo pada umumnya cukup tenang. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Padahal, kalau mereka mau, masyarakat Jepang yang terganggu itu bisa saja memprotes kami dengan kekerasan. Andai saja mereka mendirikan “Front Pembela Shinto”, yang radikal, tentu gedung sekolah kami sudah digrebek, bahkan dibakar. Mereka juga bisa saja menganiaya kami saat melakukan ibadah. Toh ini negara mereka, dan ingat, mereka mayoritas kan. Mereka juga bisa saja berdalih macam-macam, mulai dari kegiatan agama kami yang meresahkan dan mengganggu ketenangan lingkungan, hingga kecurigaan peruntukan gedung SRIT yang menyalahi fungsi. “Sekolah kok dibuat tempat ibadah, jadi boleh saja dibakar”, mungkin begitu pikiran ekstrimnya. Tapi, sepanjang saya tinggal di Jepang dan beribadah di sini, tidak pernah ada hal seperti itu terjadi. Beberapa tetangga yang orang Jepang bahkan mengucapkan “omedetou”, atau selamat, kepada kami, saat Hari Raya Idul Fitri kemarin. Di satu sisi, sentimen terhadap orang asing di Jepang masih tinggi. Beberapa gerakan ultra nasionalis bahkan mengecam banyaknya orang asing di Jepang. Namun di sisi lain, gerakan itu tidak sampai menjurus pada religionisme dan anarkisme. Dari kejadian di Jepang itu, saya termenung. Kemampuan untuk menghormati ibadah orang lain yang berbeda dari kita bisa jadi cerminan dari matangnya suatu bangsa. Aaaah ….. untung saja tidak ada gerakan sweeping dan aksi penggrebekan umat yang berlainan agama di Tokyo ini. Semoga bangsa kita juga bisa melakukan refleksi, dan mampu saling menghormati sesama umat beragama yang sedang melakukan ibadah. Salam Damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H