Mas Daniel Suharta, rekan Kompasianer yang juga aktivis gowes, pernah meminta saya bercerita tentang kegiatan bersepeda di Jepang. Guna memenuhi janji itu, berikut saya bagi cerita tentang bersepeda di Jepang. Jepang tak akan lengkap tanpa kehadiran sepeda. Cobalah berkeliling ke berbagai penjuru kota, baik di Tokyo, Kyoto, atau Osaka, sepeda ada di mana-mana. Masyarakat Jepang memang memiliki kebiasaan bersepeda. Mereka menggunakan sepeda untuk ke warung (convenience store), sekolah, stasiun kereta, bekerja, ataupun sekedar bersosialisasi. Sepeda adalah bagian dari denyut kehidupan orang Jepang. Tengok juga rumah-rumah orang Jepang, hampir semuanya menyimpan sepeda di halaman. Bersepeda menjadi asyik di Jepang karena iklimnya yang menunjang, jalan-jalannya yang kecil dan sempit, serta lanskap kota yang cenderung rata. Tak heran, sepeda ada di mana-mana. PM Hatoyama di tahun 2009 lalu pernah mencanangkan gerakan bersepeda untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Saat itu muncul jargon "Jitensha ga Atsui!” (Naik Sepeda itu Hot/ Happening!), yang mengajak masyarakat Jepang untuk semakin mencintai sepeda. Sepeda, atau “jitensha” dalam bahasa Jepang, memang sudah menjadi budaya di masyarakat Jepang. Model sepeda juga beraneka ragam, baik yang manual digowes maupun yang menggunakan motor baterai untuk kenyamanan saat jalan menanjak. Beberapa model yang sering terlihat adalah model lipat, model sport, atau sepeda gunung. Namun yang paling populer di Jepang adalah model “Mama Chari”. Sepeda “Mama Chari” adalah jenis yang paling hip dan happening di kalangan masyarakat Jepang. Sekitar 70%-90% model sepeda di Jepang adalah “Mama Chari”. Bentuknya seperti sepeda mini biasa, namun dilengkapi dengan keranjang di depan, dan rak tempat duduk bayi di belakangnya. Sepeda ini biasa digunakan ibu rumah tangga untuk berbelanja sambil mengurus anak. [caption id="attachment_82257" align="alignright" width="300" caption="Sepeda Mama Chari, paling populer di Jepang / photo JH"][/caption] Dinamakan Mama Chari, karena diambil dari kata Mama dan Chariot. Inilah sepeda kerja dan ikon dari dunia persepedaan di Jepang. Mama Chari dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dan menggambarkan dinamika masyarakat Jepang yang berkeluarga. Harganya mulai dari 10 ribu Yen (sekitar satu juta rupiah), hingga lebih dari 100 ribu Yen. Kelompok-kelompok gowes di Jepang juga banyak. Mereka biasa berkumpul untuk bersepeda keliling kota atau mendaki gunung. Kalau kita naik ke Gunung Fuji misalnya, akan banyak menjumpai kelompok gowes yang berkelompok menanjak gunung. Tak hanya anak muda, banyak juga orang tua di Jepang yang gemar naik gunung dengan sepeda. Masyarakat Jepang juga menggemari rekreasi sepeda sambil olah raga di akhir pekan. Kalau kita pergi ke sekitar Istana Imperial Tokyo di hari Sabtu atau Minggu, banyak orang yang bersepeda, baik sendiri, keluarga, maupun kelompok. Persis seperti di jalan Thamrin Jakarta, saat “Car Free Day”, jalan utama di depan Istana Imperial Tokyo juga ditutup untuk memberi kesempatan masyarakat bersepeda maupun olahraga. Soal keamanan, sepeda di Jepang menggunakan sistem registrasi. Mereka menyebutnya Bicycle (Crime-prevention) Registration. Setiap membeli sepeda, kita wajib membayar 500 Yen untuk pendaftaran nomor lisensi. Jadi, sepeda diatasnamakan si pembeli. Jangan sembarangan menggunakan sepeda orang di Jepang. Kalau tiba-tiba dirazia, kita bisa dipenjara atau denda, karena bukan menggunakan sepeda atas nama kita. Hal inilah yang menjadikan pencurian sepeda di Jepang sangat langka. Maling sepeda nyaris tak ada, walaupun sesekali terjadi. Sistem registrasi menjadikan pencuri sulit untuk menggunakan atau menjual sepeda hasil curiannya. Oleh karenanya, banyak kita lihat sepeda di Jepang yang diparkir tanpa dikunci. Meski bersepeda kelihatan sepele, di Jepang ada etiket-etiket yang harus diperhatikan. Beberapa etiket yang harus ditaati adalah, selalu jalan di sebelah kiri, wajib berhenti apabila ada tanda “tomare” atau STOP, jangan bersepeda menggunakan payung atau sambil menggunakan handphone (teman saya pernah ditegur polisi karena menelepon saat bersepeda), tidak boleh berboncengan (kecuali anak di bawah 6 tahun), dan gunakan lampu sepeda di kala malam. [caption id="attachment_82255" align="alignleft" width="300" caption="Parkir Sepeda di Jepang / foto JH"]
[/caption] Etiket lain adalah hati-hati kalau memarkir sepeda. Ada tempat-tempat tertentu yang dibuat khusus untuk memarkir sepeda. Namun beberapa stasiun kereta atau tempat tertentu ada yang secara tegas melarang sepeda parkir. Kalau anda nekat, risikonya adalah sepeda anda akan kena razia. Ini artinya, sepeda kita diangkut ke kantor otoritas yang berwenang, dan kita diwajibkan membayar denda. Siapa yang mau repot kan? Bersepeda di Jepang pastinya sangat menyenangkan karena lingkungannya yang mendukung. Namun pengguna sepeda yang ugal-ugalan juga mulai banyak di kota Tokyo. Mereka kerap melarikan sepedanya di jalan raya, dan tidak memerhatikan pejalan kaki. Permasalahan bersepeda di Tokyo adalah menyatunya jalan sepeda dengan pejalan kaki. Hal ini yang kadang menyulitkan para pesepeda atau pejalan kaki. Oleh karenanya, berhati-hatilah saat berjalan kaki di kota Tokyo karena sepeda kerap berseliweran. Bersepeda, selain sehat, ramah lingkungan, juga menyenangkan. Selamat Akhir Pekan. Mari bersepeda !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H