[caption id="attachment_81041" align="alignleft" width="300" caption="Kuil Meiji di Tahun Baru / foto by JH"][/caption] Tahun baru di Jepang adalah sebuah keheningan. Tak marak pesta kembang api, tak umum sorak meriah “old and new”, tak ada panggung gembira, dan tak terdengar bunyi terompet bersahutan. Malam tahun baru, atau omisoka dalam bahasa Jepang, secara tradisi dirayakan dengan amat sangat hening. Lihatlah jalan-jalan di kota Tokyo. Saat saya melalui wilayah Yurakucho malam tadi, jalanan nampak lengang.Tak banyak kerumunan orang yang berpesta tahun baru. Detik tahun baru di Jepang memang “hanya” dirayakan di kuil-kuil. Warga Jepang membunyikan lonceng sebanyak 108 kali. Menurut seorang sahabat, jumlah itu adalah simbol banyaknya nafsu duniawi yang menguasai tubuh kita. Lonceng dibunyikan sebagai penanda agar kita dapat melakukan “detachment” terhadap nafsu-nafsu duniawi itu. Guna melewati malam tahun baru, sebagian besar masyarakat Jepangpun melewatkan waktu dengan berkumpul di rumah, menyaksikan televisi, atau melakukan refleksi bersama. Setelah itu mereka bersama-sama mencicipi “toshikoshi soba”, atau Soba Tahun Baru, sebagai penanda keberuntungan di masa depan. Saat detik tahun baru tiba, hingga siang harinya, mereka bersama-sama pergi ke kuil untuk bersembahyang. Perayaan tahun baru dalam keheningan ini adalah ciri khas Jepang. Berbeda dengan kota-kota besar dunia lainnya, Jepang memang bukan destinasi favorit untuk merayakan tahun baru. Kalau kita datang untuk mencari keramaian tahun baru, Jepang bukanlah tempatnya. [caption id="attachment_81042" align="alignleft" width="300" caption="Memasuki Kuil di Tahun Baru / foto JH"]
[/caption] Terkait dengan perkara sepi dan hening, dahulu bangsa kita juga pernah sangat mengagungkan makna hening. Stupa tertinggi Borobudur adalah salah satu penanda akan kekosongan yang hening. Pujangga Ronggowarsito bahkan pernah menulis, “suwung sakjatining isi”. Secara harafiah, kalimat itu berarti “Kekosongan adalah kepenuhan”. Kata “suwung” sebenarnya bukan sekedar “kosong” atau “hampa”. Ia justru sebuah keadaan yang didominasi oleh kepenuhan. Dalam keheningan di kuil-kuil Jepang, bukan kekosongan yang sebenarnya dirayakan. Perayaan hening lebih merujuk pada kemampuan diri kita untuk secara total melampaui ikatan-ikatan dunia. Jiwa seseorang akan merdeka jika ia mampu membiarkan diri terlepas dari segala ikatan dunia. Merayakan Tahun Baru dalam keheningan adalah gambaran dari "ketiadaan" diri kita. Malam itu, kita dipaksa untuk luruh dan menjadi “suwung”. Kita diam dan merenung. Keheningan total, berarti bebas dari pengaruh rasa dan emosi. Tidak ada lagi senang, tidak ada lagi sedih, yang ada hanya keheningan dan kedamaian. Budaya Buddhisme dan Shintoisme yang kental di Jepang nampaknya membentuk imajinasi dan kultur dari masyarakatnya. Mereka percaya bahwa Nirvana adalah sesuatu yang berada di luar pancaindera. Nirvana tak dapat dijangkau dengan kenikmatan inderawi. Rasa kenyang, keterpuasan seksual, kenikmatan ragawi, bukanlah cara merasakan Nirvana. Keheningan di kuil-kuil pada malam tahun baru ini mengingatkan kita betapa pentingnya kembali pada hakikat diri kita. Mudah-mudahan kita tidak tersedot dalam keriaan di struktur permukaan. Semoga kita juga tidak terjebak pada sebuah keadaan, saat kita gemerlap dalam berbagai sorak sorai, kemeriahan, dan hiruk pikuk, namun fana sesudahnya tanpa arti. Selamat Tahun Baru 2011. Selamat merayakan keheningan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H