Lihat ke Halaman Asli

Junanto Herdiawan

TERVERIFIKASI

Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Mencegah Sumiati Terulang Lagi

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12924220931367251036

[caption id="attachment_78243" align="alignleft" width="288" caption="Prof Rhenald Khasali memberi presentasi ttg kiat kita usaha / photo KJRI Osaka"][/caption] Beberapa waktu lalu, saya diundang oleh rekan-rekan mahasiswa dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Jepang dan Korea Selatan untuk berbagi cerita pada forum pelatihan yang mereka selenggarakan. Cerita yang diminta adalah tentang kondisi perekonomian global, Indonesia, dan peluang usaha di baliknya. Pelatihan tersebut diadakan oleh Working Group on Technology Transfer (WGTT), dan didukung pula oleh pihak KJRI Osaka dan KBRI Seoul. Pada pelatihan di Osaka, hadir sebagai pembicara utama Prof. Rhenald Khasali, yang menyampaikan kiat-kiat memulai usaha. Selain pak Rhenald, hadir juga Cak Eko (pemilik Bakso Malang Kota Cak Eko) dan Cak Naryo (pengusaha kontraktor), yang membagi kiat-kiat sukses dalam memulai usaha. Hadir pula Firman Wibowo dan Eko Nugroho dari BNI 46 Cabang Tokyo. [caption id="attachment_78246" align="alignleft" width="170" caption="Suwardi, TKI asal Gunung Kidul, menyampaikan permasalahannya / photo by JH"]

1292422643828298912

[/caption] Para TKI atau pekerja Indonesia yang berada di Jepang dikenal dengan nama “Kenshusei”. Mereka dikontrak untuk masa kerja 3 tahun. Sementara di Korea Selatan, kontrak kerjanya bisa sampai 5 tahun. Dibanding dengan TKI lainnya, terutama yang bekerja di sektor informal, nasib pekerja Indonesia di Jepang dan Korea relatif lebih baik karena bekerja di sektor formal, seperti perusahaan manufaktur atau konstruksi. Mereka juga dididik dan diberikan pembekalan sebelum bekerja. Karena dididik, mereka memiliki kompetensi handal di bidangnya masing-masing. Selain itu, para pekerja Indonesia juga disenangi oleh perusahaan-perusahaan Jepang maupun Korea, karena perilakunya yang baik, tekun, religius, memiliki kedisiplinan yang tinggi, antusias, dan penuh energi. Kalau dilihat sejak tahun 1993, pemerintah Indonesia telah mengirimkan banyak trainee terpilih ke Jepang melalui program “Technical Intern Training Program”. Jumlah pekerja Indonesia yang dikirim ke Jepang telah mencapai sekitar 75,000 orang. Jumlah itu terus meningkat sekitar 5,200 orang pertahunnya. Mereka yang terpilih kemudian dilatih selama 4 bulan oleh pemerintah Indonesia. Selain diajarkan soal bahasa, juga ketrampilan-ketrampilan tekhnis dasar sebagai modal awal mereka bekerja. Apabila rajin dan disiplin, rata-rata pekerja Indonesia di Jepang atau Korea Selatan, bisa membawa pulang uang sekitar 200 hingga 300 juta Rupiah. Namun permasalahan yang muncul bagi para kenshuhei itu adalah saat harus kembali ke Indonesia. Apa yang akan dilakukan di Indonesia, dan lapangan kerja apa yang tersedia bagi mereka, adalah rentetan pertanyaan yang kerap memburu jawab. Kebanyakan TKI juga tidak memiliki rencana dengan uang yang dibawa pulang. Pada umumnya, mereka menggunakan untuk membeli motor, menikah, dan renovasi atau membeli rumah. Setelah itu, habislah uangnya. Akhirnya kembali menganggur atau bekerja serabutan. Pilihan lainnya adalah, bermodalkan pengalaman di Jepang, mereka beralih untuk bekerja lagi di Korea Selatan. Demikian pula sebaliknya. Hal ini tentu disayangkan, mengingat selama bekerja di Jepang atau Korea, para pekerja tersebut telah dilatih dan memiliki kompetensi yang handal di bidangnya. Akan lebih baik apabila mereka dapat ditampung di pasar tenaga kerja Indonesia, ataupun memulai untuk berwirausaha. [caption id="attachment_78245" align="alignleft" width="361" caption="Prof Rhenald dan Para Pembicara "]

12924224921742868294

[/caption] Pelatihan wirausaha yang dilakukan di Osaka dan Seoul mencoba untuk memberikan bekal bagi para kenshushei guna memulai usaha. Pihak BNI 46 Cabang Tokyo membagi cerita tentang bagaimana cara berhubungan dengan perbankan, terutama cara-cara mendapat kredit. Kita memahami bahwa usaha kecil di Indonesia terbagi dalam tiga kategori, yaitu yang “feasible dan bankable”, “feasible but not bankable”, dan “not feasible and not bankable”. Feasible dalam arti usaha mereka bagus dan memiliki prospek. Sementara bankable, berarti mereka dapat berhubungan dengan bank. Apabila para TKI memiliki semangat wirausaha dan mampu menangkap peluang di Indonesia, usahanya tentu dapat jadi feasible. Langkah selanjutnya adalah menjadikan usaha mereka bankable, agar dapat berkembang lebih baik. Pihak perbankan diharapkan dapat menangkap peluang dan prospek usaha di balik potensi para wirausaha mantan TKI tersebut. Hal terpenting adalah bagaimana membangkitkan motivasi, terutama kemampuan para pekerja Indonesia dalam memulai usaha. Setidaknya, dari sejumlah uang yang dibawa pulang, dapat digunakan sebagai modal. Selanjutnya, berbagai elemen di tanah air, mulai dari departemen terkait, pemerintah daerah, dan dunia usaha, kiranya perlu menangkap peluang dari kembalinya para pekerja Indonesia yang memiliki “skill” terampil tersebut. Dengan meningkatkan kemampuan para TKI, maupun mantan TKI tersebut, maka kita dapat mengangkat harkat dari para pahlawan devisa yang selama ini menyumbang sekitar 6 miliar dollar setahun pada ekonomi Indonesia. Harapan kita, dengan meningkatnya harkat mereka, kasus-kasus seperti Sumiati tidak berulang lagi. Salam. [caption id="attachment_78248" align="aligncenter" width="494" caption="Para TKI Peserta Pelatihan di Seoul, Korsel / photo koleksi JH"]

1292422603737384429

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline