Lihat ke Halaman Asli

Junanto Herdiawan

TERVERIFIKASI

Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Slehman Brothers Rule!!!

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_131834" align="alignleft" width="300" caption="Wagimin dkk para Kenshusei / photo by JH"][/caption] Lehman Brothers boleh saja ambruk diterpa krisis, tapi tidak begitu bagi “Slehman Brothers”, yang tetap tegar dalam memandang masa depan. Siapa itu Slehman Brothers? Itu adalah celetukan pada  pekerja Indonesia di Jepang yang saya temui pekan lalu, saat sholat Jum'at dan perayaan Golden Week di Tokyo. Wagimin, Haryadi, dan beberapa rekan lainnya datang ke Jepang sebagai pekerja magang (kenshusei). Beberapa dari mereka berasal dari Jawa Tengah, ada yang dari Klaten, Sleman, dan sekitarnya. Karena merasa senasib dan seperjuangan, mereka bagai saudara. Tak salah kalau kita sebut dengan “The Slehman Brothers” atau “Persaudaraan dari Sleman”. Tentu bukan hanya dari Sleman, banyak juga para kenshusei berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, bahkan Sumatera dan Sulawesi. Wagimin dan kawan-kawan bekerja di Jepang sebagai pekerja magang (kenshusei). Ini adalah model yang berbeda dari jenis-jenis TKI kita di luar negeri. Berbeda dengan profil TKI di negara lain yang sebagian besar bekerja di sektor rumah tangga, TKI di Jepang umumnya bekerja di sektor-sektor ekonomi yang cukup penting dan memiliki nilai tambah tinggi bagi perekonomian Jepang. Mereka bekerja di bidang pertanian, perikanan, konstruksi, industri pengolahan makanan, tekstil, mesin dan barang logam, serta industri lainnya seperti furniture, percetakan, pengecatan, dan pengemasan. Kalau dilihat secara rinci, jenis pekerjaan yang tersedia untuk para kenshusei mencakup 62 jenis dengan 114 sub tahapan pekerjaan. Luar biasa bukan. Hal ini belum ditambah lagi dengan kesepakatan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ EPA) yang menambah lagi jenis pekerjaan yaitu, tenaga perawat dari Indonesia. Lapangan pekerjaan terampil yang terbuka di Jepang semakin besar. Pemerintah Jepang pada awalnya memang tertutup bagi tenaga kerja dari luar negeri. Namun sejak beberapa tahun lalu, pintu itu mulai dibuka. Mereka menyediakan skema program magang bagi tenaga kerja asing. Pekerja yang masuk ke Jepang masuk melalui prosedur magang atau pelatihan kerja yang waktunya bervariasi dari 1 sampai dengan 3 tahun. Tahun pertama adalah program pelatihan sambil bekerja (kenshusei), dan tahun kedua serta ketiga mereka melaksanakan pekerjaan yang sama dengan pekerja Jepang (jishusei). Setelah program berakhir, peserta program ini harus kembali ke negara asalnya. Wagimin dan kawan-kawan memiliki banyak kelebihan sebagai pekerja Indonesia di luar negeri. Latar belakang pendidikan mereka rata-rata cukup tinggi, dan sebelum bekerja di Jepang telah mendapatkan pelatihan aspek bahasa dan budaya atau etos kerja Jepang. Selain itu, dibandingkan dengan rata rata TKI, mereka memiliki penghasilan yang cukup dan jika pandai mengelola atau menabung, pada akhir program dapat menjadi modal usaha yang lumayan besar. Permasalahan justru muncul kala mereka harus kembali ke tanah air. Salah satu kenshushei bercerita pada saya bahwa di Indonesia ia adalah seorang sopir ojek. Setelah bekerja di Jepang, ia memiliki ketrampilan usaha di bidang jasa pengecatan. Ia kini sudah paham bagaimana proses pengecatan dan proyek-proyek yang harus dikerjakan. Ia memiliki cita cita untuk melakukan usaha sekembalinya di tanah air nanti. Namun, terus terang ia bingung harus bagaimana untuk memulai usaha itu. Akhirnya memang, kebanyakan pekerja yang kembali ke tanah air, kembali menekuni profesi lamanya. Hal ini tentu amat disayangkan. Oleh karenanya, upaya lintas instansi di negeri kita perlu secara serius melihat potensi para kenshusei ini. Bagaimana agar dengan usia yg masih muda, semangat serta minat yang cukup kuat untuk membuka usaha, dan tabungan yang dimiliki, mereka masih bisa bekerja di Indonesia. Membangun semangat dan pengetahuan mereka tentang “kewirausahaan” menjadi penting. Di Jepang, langkah KBRI Tokyo, perbankan, dan lembaga lainnya, sudah cukup baik dalam memberikan pembekalan, termasuk cara-cara mendapatkan kredit bagi para kenshusei. Namun, langkah itu belum cukup. Perlu koordinasi bukan hanya satu atau dua lembaga, namun semua pihak yang terkait dengan ketenagakerjaan, baik itu Departemen Tenaga Kerja, Koperasi dan UMKM, Perbankan, Imigrasi, Lembaga Penyalur Tenaga Kerja Indonesia, dan juga tentu, Pemerintah Daerah. Dilihat dari teori ekonomi, akumulasi modal (capital) dan sumber daya alam (material) tak akan bisa menghasilkan produk tanpa dukungan tenaga kerja. Untuk bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, selain arus dana diatur dengan baik, material diproduksi dengan tepat, tenaga kerja juga harus dikelola dengan baik. Langkah memperbaiki hukum ketenagakerjaan (upah minimum, jam kerja, regulasi dan kondisi pekerja), penyediaan infrastruktur perburuhan (pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan) sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas kaum pekerja. Para pekerja, buruh, dan termasuk kenshusei ini, adalah faktor produksi terpenting dalam bergulirnya roda perekonomian. Karl Marx dulu menyebut mereka dengan sebutan “an industrial reserve army” karena mereka adalah prasyarat produksi dan ekspansi modal dapat berjalan. Sayang istilah ini kerap dipelesetkan untuk kepentingan politik. Apabila semangat Wagimin dan kawan-kawan tersebut dapat tersalurkan dengan baik, maka akan banyak muncul para pekerja yang berkualitas dan wirausahawan baru di tanah air yang pada gilirannya mendorong perekonomian Indonesia. Sleman Brothers Rule !! Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline