Pada akhir tahun 2014, tepatnya 11 November, istri tercinta meninggal dunia karena sakit berat yang dideritanya. Begitupun dunia ini bak runtuh. Mahligai yang terbangun 27 tahun lamanya seperti perahu terombang-ambing diterpa gelombang tapa kemudi.
Kepasrahan total kepada istri untuk urusan rumah tangga dengan segala tetek bengeknya, pendidikan lima anak dan urusan dapur membuat saya kelimpungan setelah kepergiannya. Suasana ini berlanjut dan hampir enam bulan dalam ketidak-pastian. Seolah ada sesal dan protes kepada Tuhan, kenapa begitu cepat Engkau memanggilnya?
Profesi saya sebagai konsultan keuangan yang bekerja mobiling ke seluruh Indonesia bahkan sampai keluar negeri, belum cukup sebagai modal untuk me-manage urusan rumah tangga dengan status single parent. Saya kemudian tersadar dan dengan tulus mengakui bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah profesi yang bukan hanya mulia tapi berat.
Bertahun-tahun pernikahan saya seolah buta dengan jasa yang ia lakukan untuk membangun rumah tangga hingga sebaik ini. Me-manage keuangan yang selalu cukup, bahkan spare uang untuk menabung selalu meski keperluan rumah tangga kami begitu besar. Kelima anak saya sekolah di sekolah yang tidak murah.
Saya hidup terpisah dengan istri karena tuntutan pekerjaan, begitupun dengan anak sulung saya yang melanjutkan pendidikan akhirnya di luar kota. Itu artinya istri saya masih harus me-manage keuangan untuk tiga dapur (dapurnya dengan empat anak, dapur saya, dan dapur anak sulung saya).
Hingga kini, saya selalu salut dan akan selalu terkenang akan kontribusi yang telah istri saya berikan. Kelima anak saya, hasil didikannya, memiliki moral dan attitude yang baik, tidak nakal, tidak pernah memiliki track record yang buruk di sekolahnya. tidak merokok, tidak pernah menyusahkan, tidak konsumtif, dan tidak pernah meminta apa yang sekiranya tidak mereka butuhkan.
Sekarang ini tanpanya, saya berusaha tegar bersama anak-anak saya. Istirahat dengan tenang instriku. Tiga tahun kepergianmu, saya masih sendiri dan akan tetap mengenang budi baik serta jasa-jasamu.
Semoga kisah nyata ini menginspirasi para ayah (single parent) yang kebetulan saat ini senasib.
Tulisan ini mengingatkan diri saya bahwa roda kehidupan tetap berputar dan tidak baik untuk berlarut dalam kenangan dan keterpurukan masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H