Setiap pribadi, memiliki tokoh idola masing-masing. Dari tokoh idola itu, kita banyak meniru-belajar sebagai bentuk inspirasi. Namun, kadang kita cuma mengidolakan seorang tokoh, tapi inspirasi-inspirasi kebaikan (nilai) positifnya jarang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kita untuk berbuat baik saja membutuhkan sandaran, contoh atau teladan.
Ketika aku masih berada di kelas SMA, aku mengidolakan sosok Imam Ghazali, atau Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, seorang tokoh sufi dalam teologi Islam. Ada dua alasan aku mengidolakan al-Ghazali: pertama, dia seorang sufi yang produktif menulis, sehingga menghasilkan banyak kitab. Gagasan-gagasannya bisa ditelaah dan dijadikan sebagai tambahan cakrawala pengetahuan bagi umat setelahnya.
Kedua, dia sosok yang sangat patuh dalam hal-hal kebaikan. Pernah suatu ketika saat al-Ghazali menimba ilmu, belajar agama, oleh guru ngajinya dia diperintah untuk membersihkan kandang unta (jika tak keliru kisahnya, ada menyebutnya membersihkan kamar mandi). Ketika al-Ghazali mau mengikuti perintah gurunya untuk bersih-bersih, dia menggunakan tangannya langsung untuk membersihkan kotoran unta, atau yang menggunakan perspektif kamar mandi, dia membersihkan kamar mandi dengan tangannya. Baru setelah itu, dia disuruh pulang oleh gurunya. Dia hanya mengikuti perintah gurunya, demi mendapat ridla. Tak heran, atas kepatuhan pada gurunya, dia menjadi seorang alim yang karyanya dibaca oleh umat sepanjang zaman setelahnya.
Sejak aku mendengar kisah inspiratif itu, segala bentuk perintah yang sekiranya itu baik dan tidak merugikan orang lain, pasti kulakukan. Sosok al-Ghazali bagiku sangat mulia, tentunya selain Nabi Muhammad Saw. yang akhlaknya tak dapat diragukan lagi kemuliaannya. Selain itu, semangatku untuk meniru al-Ghazali terus berlanjut. Itu berlangsung ketika aku duduk di bangku kuliah.
Pada akhir bangku SMA, aku berkomitmen untuk belajar menulis sebagaimana al-Ghazali, menjadi seorang penulis yang kreatif-produktif. Aku tak sebatas berwacana, komitmen yang kubangun dari jiwa yang terdalam, kulaksanakan ketika menginjak bangku kuliah di Surabaya. Aku belajar menulis pada seorang teman. Modelnya dipandu saja, aku mengikuti arahannya. Sejak itu aku tekun menulis dan alhamdulillah hingga sekarang saat tulisan ini muncul.
Semangat untuk mengambil contoh baik dari al-Ghazali tak lepas di situ saja. Aku masih melakukan hal lain yang kupandang masih tergolong baik, tidak merugikan bagi orang lain dan diriku sendiri. Satu inspirasi yang membuatku berusaha untuk terus menguatkan komitmen, yaitu berbuat baik meski hal-hal sepele.
Mungkin berkat aku mengagumi al-Ghazali, sehingga inspirasi suka bersih-bersih menjadi aktivitasku. Begini, dalam posisiku berada di perantauan, pasti memilih tempat kos saat ada di Yogyakarta sekarang ini, meskipun tidak memilih kos seperti ketika di Surabaya, secara diam-diam aku membersihkan kamar mandi dan selebihnya halaman sekitar. Secara matematis, aku memang rugi. Tapi, substansi dan manfaatnya kurasakan sendiri, kamar mandi bersih dan lingkungan asri.
Bahkan, ketika aku berkunjung ke tempat (kos atau kontrakan) teman dan melihat ketidakbersihan, hatiku mengatakan untuk melakukan bersih-bersih. Hingga aku pamit untuk membersihkan tempatnya, awalnya tidak diperbolehkan, tapi aku bilang bahwa aku melakukannya sesuka hatiku, bukan karena apa-apa. Ketika aku bersih-bersih, mereka juga ikut bersih-bersih (lihat foto di atas tulisan ini, itu temanku yang tergerak untuk bergabung membersihkan kontrakannya bersama-sama saat aku menyatakan mau membersihkan kontrakannya yang kotor). Aku pikir, untuk melakukan tindakan positif harus langsung dimulai, bukan saling tarik-ulur, hingga tak ada hasil sama sekali.
Sangat banyak orang yang mendengungkan tentang mencintai kebersihan dan lingkungan, tapi itu sebatas wacana. Pada hakikatnya, realitas yang ada mereka tidak bersih-bersih dan kurang mencitai lingkungan. Mungkin biar dianggap hebat dan memiliki komitmen baik. Memang siapa yang tidak mencintai kebersihan dan lingkungan asri? Semua orang suka. Tetapi, yang sulit itu melakukannya. Aku mengatakan hal ini, karena banyak dijumpai dalam perjalanan hidupku ketika bersama teman-teman.
Itu sama halnya dengan gerakan cinta kebaikan, tapi orang yang membuat adagium tersebut tak pernah melakukan kebaikan. Untuk berbuat baik saja masih menggunakan logika matematis, untung-rugi secara materi. Hal yang kulakkan seperti bersih-bersih kamar mandi kos dan lingkungan sekitar, itu berangkat dari komitmenku untuk meniru al-Ghazali yang diperintah bersih-bersih oleh gurunya. Jika al-Ghazali diperintah, aku tanpa harus diperintah atau dibayar, alhamdulillah sedikit banyak mampu meniru al-Ghazali. Selain itu, memang secara matematis aku rugi, tak ada yang membayar, tapi aku merasa nyaman jika kamar mandi kos dan lingkungan bersih. Hal itu tentu dirasakan oleh teman-teman yang lain yang katanya mencintai lingkungan bersih, tapi sebatas wacana, tidak ada komitmen kuat untuk mengimplementasikannya.
Buat apa punya banyak tokoh idola, wacana digembor-gemborokan jika hanya di mulut saja? Lebih baik membangun komitmen untuk berbuat baik bagi masyarakat dan lingkungan sekitar daripada berwacana tapi tak ada implementasinya. Al-Ghazali menjadi EnergiBaik bagi kehidupanku untuk melakukan hal-hal positif, seperti giat membaca dan membersihkan lingkungan sekitar tanpa mengharap materi. Itu salah satu contoh tokoh idola yang kubanggakan dan menginpirasi dalam hal kebaikan, selain tokoh-tokoh lain yang juga tentu memberikan banyak inspirasi kebaikan untuk diriku sendiri dan lingkungan (masyarakat) sekitar ketika kuimpelementasikan. Begitu.