Lihat ke Halaman Asli

Agitasi dan Budaya Media Sosial

Diperbarui: 10 Februari 2018   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. kotakata.id

Belakangan ini, kehadiran media sosial  memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat  modern. Berbagai macam perubahan dalam hal ideologi dan pemahaman  semakin rancu, tak menentu. Media sosial telah menjadi salah satu corong  perubahan. Perubahan yang terjadi bukan konstruksi dalam bermasyarakat.  Namun, destruksi sosial via media sosial sudah mewarnai kehidupan  masyarakat Indonesia yang plural.

Ada banyak agitasi yang tersebar  di berbagai media sosial. Sementara masyarakat kita masih bagai lembu  ditusuk hidungnya. Budaya lembu ditusuk hidungnya ini, makin hari makin  menjadi-jadi. Masyarakat kita mudah goyah dalam memegang prinsip:  gampang dipengaruhi oleh opini-opini yang sebenarnya berisi adu domba,  hasutan, dan propaganda melalui media sosial. Bermedia sosial sudah  menjadi semacam budaya oknum yang bekepentingan untuk menebar hasutan  dan kebencian. Hal itu melihat faktor dan kecenderungan masyarakat yang  mudah goyah ketika dihadapkan pada suatu persoalan yang sebenarnya belum  jelas informasinya.

Sehingga, masyarakat awam yang keilmuannya  masih terbatas pun ikut mengeluarkan pendapat-pendapat yang berbau  agitasi tanpa memikirkan dampak bagi kehidupan riil di lingkungan  sosial. Hal ini yang sebenarnya harus diperhatikan dalam mengikuti  kemajuan budaya dalam bermedia sosial. Kebiasaan mengekor atas segala  bentuk opini dan bahasa propaganda perlu kita jadikan sebagai bahan  renungan agar tidak terjerumus pada ruang perpecahan.

Seperti  dikatakan oleh Bakker (2017:15) bahwa kebudayaan manusia pada hakikatnya  mengakui alam dalam arti seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk  semakin memanusiakan manusia. Kebudayaan bukan semata merujuk pada  kebiasaan hidup manusia dalam berinteraksi. Tetapi, kebudayaan hadir  sebagai media memanusiakan manusia dalam lingkup masyarakat. Begitu juga  budaya bermedia sosial harus meningkatkan solidaritas dan humanity values.

Menjelang  akhir tahun 2017 ini, agitasi menjadi hal lumrah yang terjadi di media  sosial. Meskipun demikian, masyarakat kita masih terlena dengan situasi  yang sebenarnya disadari telah membuat benang merah perpecahan.  Seharusnya, opini-opini yang menggiring pada perpecahan perlu segera  didinginkan. Bukan malah dikompori, hingga menjadi polemik yang  menyesakkan psikis masyarakat secara umum.

Apalagi menghadapi  tahun baru 2018. Keadaan yang sebelumnya sangat keruh dengan bahasa  propaganda dan benih-benih pecah belah, harus mendapat perhatian lebih  dingin dan bijak. Karena kita tak dapat memungkiri, pada tahun 2018  teknologi akan semakin maju. Jika kita lengah, maka segala agitasi akan  mudah menyerang kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen untuk hidup  rukun perlu dibangun sekuat mungkin dengan prinsip membangun kerukunan  antar sesama. Segala yang berbau agitasi, propaganda, dan adu domba  jangan sampai digeneralisir menjadi bahan polemik yang merusak tatanan  kehidupan dalam bermasyarakat.

* Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline