Belakangan ini, kehadiran media sosial memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat modern. Berbagai macam perubahan dalam hal ideologi dan pemahaman semakin rancu, tak menentu. Media sosial telah menjadi salah satu corong perubahan. Perubahan yang terjadi bukan konstruksi dalam bermasyarakat. Namun, destruksi sosial via media sosial sudah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia yang plural.
Ada banyak agitasi yang tersebar di berbagai media sosial. Sementara masyarakat kita masih bagai lembu ditusuk hidungnya. Budaya lembu ditusuk hidungnya ini, makin hari makin menjadi-jadi. Masyarakat kita mudah goyah dalam memegang prinsip: gampang dipengaruhi oleh opini-opini yang sebenarnya berisi adu domba, hasutan, dan propaganda melalui media sosial. Bermedia sosial sudah menjadi semacam budaya oknum yang bekepentingan untuk menebar hasutan dan kebencian. Hal itu melihat faktor dan kecenderungan masyarakat yang mudah goyah ketika dihadapkan pada suatu persoalan yang sebenarnya belum jelas informasinya.
Sehingga, masyarakat awam yang keilmuannya masih terbatas pun ikut mengeluarkan pendapat-pendapat yang berbau agitasi tanpa memikirkan dampak bagi kehidupan riil di lingkungan sosial. Hal ini yang sebenarnya harus diperhatikan dalam mengikuti kemajuan budaya dalam bermedia sosial. Kebiasaan mengekor atas segala bentuk opini dan bahasa propaganda perlu kita jadikan sebagai bahan renungan agar tidak terjerumus pada ruang perpecahan.
Seperti dikatakan oleh Bakker (2017:15) bahwa kebudayaan manusia pada hakikatnya mengakui alam dalam arti seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan manusia. Kebudayaan bukan semata merujuk pada kebiasaan hidup manusia dalam berinteraksi. Tetapi, kebudayaan hadir sebagai media memanusiakan manusia dalam lingkup masyarakat. Begitu juga budaya bermedia sosial harus meningkatkan solidaritas dan humanity values.
Menjelang akhir tahun 2017 ini, agitasi menjadi hal lumrah yang terjadi di media sosial. Meskipun demikian, masyarakat kita masih terlena dengan situasi yang sebenarnya disadari telah membuat benang merah perpecahan. Seharusnya, opini-opini yang menggiring pada perpecahan perlu segera didinginkan. Bukan malah dikompori, hingga menjadi polemik yang menyesakkan psikis masyarakat secara umum.
Apalagi menghadapi tahun baru 2018. Keadaan yang sebelumnya sangat keruh dengan bahasa propaganda dan benih-benih pecah belah, harus mendapat perhatian lebih dingin dan bijak. Karena kita tak dapat memungkiri, pada tahun 2018 teknologi akan semakin maju. Jika kita lengah, maka segala agitasi akan mudah menyerang kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen untuk hidup rukun perlu dibangun sekuat mungkin dengan prinsip membangun kerukunan antar sesama. Segala yang berbau agitasi, propaganda, dan adu domba jangan sampai digeneralisir menjadi bahan polemik yang merusak tatanan kehidupan dalam bermasyarakat.
* Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H