Brodin tampak begitu lesu usai perjalanan seharian di atas pesawat terbang. Tubuhnya tergolek di atas dipan tua. Rumah sederhana yang ditempati sudah menjauhkan dia dari sanak familinya. Perasaannya gundah gulana. Pikirannya terbang kemana-mana. Tubuhnya hanya tampak terbaring di atas dipan tempat dia akan menjalani profesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Tapi roh dan jiwanya berontak saat anak dalam kandungan istrinya membayangi kesendiriannya.
Bagasi dan kopor-kopor besar yang berada di pojokan gubuk murah itu didekati dengan penuh kegirangan. Di dalam kopor besar itu Brodin memungut sisa roti dan sebotol minuman air mineral. Sebongkah roti dilahap dengan diselingi menenggak sebotol air. Tubuhnya kembali bugar sejenak. Lalu dia membaringkan lagi tubuhnya di atas dipan kayu jati.
Di sela-sela rasa letihnya yang terus menemani jiwanya, Brodin tetap berusaha mengompori semangatnya. Bagasi dan kopor-kopor yang berisi berbagai peralatan dan kebutuhan hidup mulai dari baju, sarung, celana, kopiah, dan sandal ditata dengan rapi di rak kecil sisa penghuni gubuk sebelumnya. Ruangan sempit yang ditempatinya tampak bagaikan surga mungil yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya. Rapi dan tanpa sampah yang selalu berseliwiran sana-sini.
***
Waktu terus berjalan mengantarkan Brodin pada ruang dan waktu yang semakin menjadikan dirinya tua dan mengenal banyak teman-teman kerjanya di negeri orang. Hari itu Brodin tidak bekerja seperti teman-teman TKI lainnya. Dia sengaja mengurung diri dalam gubuk sewaannya. Hari itu bahagia tampak menemani kesendirian yang bercerita tentang negeri orang itu.
Matahari di ufuk timur makin lama makin meninggi menampakkan senyumnya yang selalu mengiris-iris kulit. Di sela-sela Brodin tak ada kerjaan, dia merapikan tempat-tempat yang semrawut, saat itu pula perutnya mulai memanggil dan meronta-ronta kelaparan. Dia mengambil wajan yang berada di rak tempat peralatan memasak. Dia pula memungut periuk nasi untuk memasak beras yang dibawa dari Indonesia. Di hadapannya sudah bertiduran alat-alat memasak khas negeri orang.
Di saat wajan terbaring di atas kompor, di kala periuk berisi beberapa takaran beras bertiduran di atas lantai. Tak terasa, air mata Brodin menganak sungai dari tepi-tepi matanya. Tubuhnya yang gagah tak lagi mampu membendung derasnya air mata yang mengalir di celah-celah pipinya. Dadanya terguncang. Perasannya bagai teriris sembilu lalu diperciki air garam. Dia baru tersadar, memasak tidak mudah. Dia teringat istrinya di rumah. Batinnya bergejolak. Dia merasa banyak salah pada istrinya yang selalu menyiapkan makanan dengan sepenuh hatinya di kala pagi menyapa dan di kala sore membentangkan sayap-sayap senjanya.
Brodin berusaha menghapus titik air matanya yang mulai mengering di pipinya yang kecoklatan. Tak lama setelah air matanya mengering, dia mendengar gerasak-gerusuk petugas keamanan negeri rantaunya yang sedang piket memeriksa surat-surat TKI. Brodin pun tergopoh-gopoh masuk ke bawah tempat tidurnya. Detak jantungnya bak usai dikejar singa di hutan. Brodin tak punya surat-surat resmi. Dia hanya memegang kartu penduduk. Paspor tak dimilikinya. Dia menjadi TKI ilegal melalui perantara toke.
Dia sebenarnya menyadari, menjadi TKI ilegal tidak dibenarkan dan menjadi ancaman bagi dirinya karena tidak akan mendapat jaminan hukum ketika terjadi masalah di negeri orang. Namaun, apa boleh buat, biaya yang sangat mahal dan rumitnya administrasi menyeret Brodin menjadi TKI ilegal. Lambat laun, suara petugas keamanan menyusut, makin lama makin menjauh dan menepi ke gang-gang rumah di depan gubuk Brodin. Dengan beringsut keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba Brodin ada yang memanggil dari belakang.
"Hei, kau!" suara petugas itu menggetarkan hati Brodin.
"Maaf, Pak..." Dengan tangan menyembah, Brodin berlutut di depan petugas.