Orang-orang di seberang pasti menganggapku dan tetangga kampungku sebagai orang tak tahu dunia yang terus menggelinding maju. Aku semakin hari semakin merasa tak memiliki dunia lagi. Seakan-akan dunia lenyap oleh gemerlapan dunia yang diangaap harus berubah total. Padahal tak perlu mengikuti arus kerlap-kerlip dunia yang pada kenyataannya merusak dunia.
Dahulu, nenekku mengajarkan cara mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan sederhana. Aku diajak ke ladang-ladang dan ke hutan. Aku merasa masuk pada dunia baru di rimba belantara. Tapi kini tak ada hutan yang bisa menjadi kenyataan hidupku. Hidupku yang hakiki. Hutan-hutan ditebang dan yang tersisa hanya tanah gersang. Jika tak gersang, tentu banjir menjadi pemandangan.
Usahaku dan nenek memetik daun-daun jati atau daun pisang di ladang atau di hutan. Daun itu kemudian aku jual bersama nenek ke pasar atau pada orang-orang yang menjadi langganan harian. Selebihnya aku menjualnya ke pasar. Pada masa itu, daun jati dua puluh lembar bisa mendapat uang lima ratus rupiah yang bisa membeli kebutuhan dapur untuk lima hari. Sehari ibu dan nenekku hanya butuh uang seratus rupiah untuk kebutuhan sehari-hari.
"Mit, jika kamu tiap hari rajin mengumpulkan daun pisang dari ladang dan daun jati dari hutan, hidupmu tak akan jatuh melarat karena tak punya uang."
Nasihat nenek masih saja terngiang di telingaku meski usianya di dalam tanah sudah mencapai tiga puluh satu tahun. Usiaku pada saat ini sudah menginjak kepala empat dengan bayi dalam rahim istriku. Statusku tiap hari dimakan waktu dengan ingatan-ingatan masa silam yang sebenarnya sangat kurindukan. Tiga anakku kuajari agar tiap bepergian membawa tas yang kuanyam sendiri dari bahan ijuk dan daun-daun menjalin yang kuat.
Istriku membuka toko aksesoris yang menjual tas dan lainnya berbahan tumbuhan. Memang, teman-teman dan para tetanggaku sedikit yang menghampiri. Tapi, bule-bule asing selalu membeli dengan permintaan yang bervariasi. Orang-orang yang kuanggap tak peduli alam ternyata anggapanku melesat. Bule-bule itu jarang membawa kantong plastik. Mereka lebih suka membawa kantong bahan rajutan dan anyaman keluargaku.
Kini, cara hidupku yang kadang kuanggap unik meski kata teman-temanku juga udik sekali karena mereka sudah tak ada yang melakukan lagi. Padahal, daun jati jika dibuat bungkus ikan, aroma ikannya tak hilang dan sedap ketika dimasak. Para tamuku selalu memuji masakan istriku. Aroma dan kelesatannya begitu terasa katanya. Ini bukan rahasia lagi sebenarnya jika mereka mau menggunakan bungkus makanan dari bahan dedaunan. Berbeda dengan zamanku saat ini yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Para tetangga dan pedagang kini sudah menggunakan plastik sebagai bungkus belanjaannya.
***
Malam semakin larut dan tenggelam di lautan sepi. Anak-anak sudah berlayar ke samudera mimpi. Gerasak-gerusuk dari bilik kamar masih kudengar dengan jelas. Tak harus kutebak. Itu bukan suara tikus yang menggerogoti gabah seperti di desa waktu aku kecil dulu. Kuhampiri istriku yang seorang diri merajut rotan-rotan pilihan dan daun-daun lentur di sekitarnya. Kulihat ada beberapa tas, keranjang, dan bahan-bahan lainnya. Aku mendekati dengan perlahan matanya tertuju padaku.
"Ada apa toh mas?"
"Sudah larut malam dek, lanjutkan besok saja."