Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Ingatan Daun

Diperbarui: 13 November 2017   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Kedaulatan Rakyat - Junaidi Khab

Orang-orang di seberang pasti  menganggapku dan tetangga kampungku sebagai orang tak tahu dunia yang  terus menggelinding maju. Aku semakin hari semakin merasa tak memiliki  dunia lagi. Seakan-akan dunia lenyap oleh gemerlapan dunia yang diangaap  harus berubah total. Padahal tak perlu mengikuti arus kerlap-kerlip  dunia yang pada kenyataannya merusak dunia.

Dahulu, nenekku mengajarkan cara  mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan sederhana. Aku diajak ke  ladang-ladang dan ke hutan. Aku merasa masuk pada dunia baru di rimba  belantara. Tapi kini tak ada hutan yang bisa menjadi kenyataan hidupku.  Hidupku yang hakiki. Hutan-hutan ditebang dan yang tersisa hanya tanah  gersang. Jika tak gersang, tentu banjir menjadi pemandangan.

Usahaku dan nenek memetik daun-daun jati  atau daun pisang di ladang atau di hutan. Daun itu kemudian aku jual  bersama nenek ke pasar atau pada orang-orang yang menjadi langganan  harian. Selebihnya aku menjualnya ke pasar. Pada masa itu, daun jati dua  puluh lembar bisa mendapat uang lima ratus rupiah yang bisa membeli  kebutuhan dapur untuk lima hari. Sehari ibu dan nenekku hanya butuh uang  seratus rupiah untuk kebutuhan sehari-hari.

"Mit, jika kamu tiap hari rajin  mengumpulkan daun pisang dari ladang dan daun jati dari hutan, hidupmu  tak akan jatuh melarat karena tak punya uang."

Nasihat nenek masih saja terngiang di  telingaku meski usianya di dalam tanah sudah mencapai tiga puluh satu  tahun. Usiaku pada saat ini sudah menginjak kepala empat dengan bayi  dalam rahim istriku. Statusku tiap hari dimakan waktu dengan  ingatan-ingatan masa silam yang sebenarnya sangat kurindukan. Tiga  anakku kuajari agar tiap bepergian membawa tas yang kuanyam sendiri dari  bahan ijuk dan daun-daun menjalin yang kuat.

Istriku membuka toko aksesoris yang  menjual tas dan lainnya berbahan tumbuhan. Memang, teman-teman dan para  tetanggaku sedikit yang menghampiri. Tapi, bule-bule asing selalu  membeli dengan permintaan yang bervariasi. Orang-orang yang kuanggap tak  peduli alam ternyata anggapanku melesat. Bule-bule itu jarang membawa  kantong plastik. Mereka lebih suka membawa kantong bahan rajutan dan  anyaman keluargaku.

Kini, cara hidupku yang kadang kuanggap  unik meski kata teman-temanku juga udik sekali karena mereka sudah tak  ada yang melakukan lagi. Padahal, daun jati jika dibuat bungkus ikan,  aroma ikannya tak hilang dan sedap ketika dimasak. Para tamuku selalu  memuji masakan istriku. Aroma dan kelesatannya begitu terasa katanya.  Ini bukan rahasia lagi sebenarnya jika mereka mau menggunakan bungkus  makanan dari bahan dedaunan. Berbeda dengan zamanku saat ini yang sudah  berubah seratus delapan puluh derajat. Para tetangga dan pedagang kini  sudah menggunakan plastik sebagai bungkus belanjaannya.

***

Malam semakin larut dan tenggelam di  lautan sepi. Anak-anak sudah berlayar ke samudera mimpi. Gerasak-gerusuk  dari bilik kamar masih kudengar dengan jelas. Tak harus kutebak. Itu  bukan suara tikus yang menggerogoti gabah seperti di desa waktu aku  kecil dulu. Kuhampiri istriku yang seorang diri merajut rotan-rotan  pilihan dan daun-daun lentur di sekitarnya. Kulihat ada beberapa tas,  keranjang, dan bahan-bahan lainnya. Aku mendekati dengan perlahan  matanya tertuju padaku.

"Ada apa toh mas?"

"Sudah larut malam dek, lanjutkan besok saja."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline