Pemerintah perlu melihat kembali pada keberadaan para petani (masyarakat agraris) di Indonesia. Disadari dan diakui atau tidak, petani adalah tulang punggung kehidupan bangsa Indonesia, bahkan dunia. Dengan satu alasan, jika tidak ada para petani, rakyat dan para elite tentunya kebingungan untuk mengurus persoalan isi perutnya. Bahkan mereka bisa mati kelaparan jika petani tidak memiliki andil sebagai tulang punggung kehidupan bangsa. Kita tidak bisa menyangkal meskipun sebagian orang (misalkan) makan roti atau bukan beras dan gandum, sudah dipastikan sumber untuk pengganjal perut tersebut dari jerih payah petani.
Tapi, sekuat mereka menjadi tulang punggung kehidupan bangsa, mereka kadang tidak mendapat prioritas kesejahteraan oleh pemerintah dan orang-orang yang bersandar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya kepada mereka. Ini harus menjadi renungan utama oleh pemerintah. Suatu ketika jika petani pindah profesi secara besar-besaran, dapat dipastikan bahwa kekurangan sandang dan pangan akan menjadi persoalan utama yang rumit. Tentunya akan muncul krisis pangan dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok hidup manusia.
Mungkin di mata para elite dan pemerintah petani dipandang sebagai orang lemah dan tak memiliki banyak pengetahuan. Sehingga mereka sering terlupakan, utamanya terkait dengan kesejahteraan. Pemerintah kadang lebih memprioritaskan kesejahteraan para buruh pabrik, elite politik, dan pegawai-pegawai negeri. Sementara, para petani dengan kerja kerasnya di bawah terik sinar matahari yang membakar, seolah-olah hanya bayangan gelap dan semu. Secara tidak langsung, seluruh aspek kehidupan di dunia, 90 % bergantung kepada para petani. Karena petani adalah penghasil kebutuhan pokok kehidupan umat manusia.
Baru-baru ini perhatian pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tampak kepada para petani. Hal tersebut sebagaimana dilansir oleh banyak media, pada Sabtu 31 Januari 2015, Jokowi mengunjungi Ngawi di Jawa Timur dan Sukoharjo di Jawa Tengah. Dalam kunjungannya, Jokowi menyerahkan beberapa alat pertanian sebagai penunjang keberlangsungan pengolahan tanah dan irigasi di kalangan para petani tentunya. Alat-alat pertanian tersebut berupa 850 unit handtractor 337 unit pompa air.
Kunjungan dengan pemberian alat-alat bantu pertanian tersebut setidaknya menjadi angin segar bagi sebagian petani yang ada di dua kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemungkinan besar semangat para petani sedikit banyak akan menyala oleh dukungan materil dari presiden. Ini merupakan salah satu wujud kepedulian pemerintah kepada para petani. Tentu, kunjungan presiden ini bukan tidak memiliki tujuan baik yang tersurat maupun yang tersirat. Berbagai polemik dan dugaan tentu tidak dapat dihindari terkait kunjungan presiden Jokowi.
Belum Cukup
Pemberian alat-alat pertanian oleh presiden Jokowi kepada masyarakat agraris di Sukoharjo dan Ngawi yang jumlah keseluruhan mencapai 1187 unit ini perlu diapresiasi. Peralatan tersebut mampu meredam kesulitan petani dalam mengolah tanah dan irigasi. Dua macam bantuan alat irigasi (tractor dan pompa air) pertanian tersebut setidaknya bisa digunakan secara maksimal oleh masyarakat setempat, yaitu dimanfaatkan secara bersama tanpa ada pungutan liar oleh pemerintah setempat.
Angin segar ini rasanya tidak cukup jika peralatan pertanian atau lainnya hanya diberikan di dua kabupaten tersebut. Akan tetapi, pemberian alat-alat pertanian semacam itu atau lainnya harus menyeluruh ke pelosok negeri. Bukan hanya di pulau Jawa, tapi juga di berbagai pulau di nusantara. Hal tersebut untuk menutup dan menghindari stigma dan stereotip bahwa Indonesia hanyalah di pulau Jawa saja.
Kesejahteraan para petani harus menjadi prioritas utama, dan setidaknya pemerintah mau mendengarkan suara-suaranya kemudian merespon dengan baik. Cara demikian mungkin akan mempercepat produksi di bidang pertanian terkait dengan kebutuhan pokok kehidupan bangsa, yaitu bahan sandang, papan, dan pangan. Selain memberikan prioritas kesejahteraan kepada para petani terkait kebutuhannya, langkah ini akan menjadi fondasi awal untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Sehingga, Indonesia tidak perlu takut menghadapi MEA 2015.
Kebijakan Harga
Sejauh roda pemerintahan berputar, sepertinya masih belum ada kebijakan terkait patokan harga pokok hasil pertanian yang menguntungkan para petani. Petani seakan-akan tidak memiliki hak otoritas terhadap harga hasil pertaniannya sendiri. Sebagaimana sudah banyak terjadi, petani sepertinya pasrah dengan harga hasil pertaniannya. Misalkan harga tembakau yang tidak bisa ditentukan oleh mereka. Tapi harga produksi dari tembakau jauh lebih meroket. Jika kita menganggap masyarakat agraris tidak berpendidikan, sehingga dalam persoalan harga mereka tidak berkutik, maka setidaknya pemerintah perlu memberikan pendidikan kepada mereka agar petani tidak dirugikan oleh orang "pintar".