Belajar dari sejarah demokratisasi dalam skala nasional, torang bersyukur, generasi torang (milenial), karena hidup diera pasca reformasi dimana saat ini torang menikmati ruang publik yang lumayan bebas dibanding era orba. Walau demikian, torang tak bisa menutup mata bahwa demokrasi di indonesia masih banyak kekurangan entah itu pada skala nasional atau pada skala lokal, demokrasi yang sedang berlangsung masih bersifat demokrasi prosedural bukan demokrasi substantif.
Adapun negara dalam aspek ekopol, relasi kuasa eksternal skala global negara masih lemah dihadapan kekuatan politik dan ekonomi global, torang mungkin masih dikategorikan sebagai negara peri-peri penyedia (raw materials) untuk produksi negara-negara maju atau termasuk negara konsumeris dalam struktur politik ekonomi global masih dibawah jepang, cina, korea, singapura dan beberapa negara asia lainya, belum naik tangga atau belum cukup kuat untuk naik tangga.
Disisi lain, isu kemiskinan dalam skala nasional atau lokal masih menjadi salahsatu isu urgen, solusi-solusi barangkali telah diupayakan, zaman orba diterapkan model pembangunanisme (modernization) kemudian paradigma teori modernisasi banyak dikritisi sebab dalam beberapa hal tertentu tidak relevan dengan konteks keindonesiaan dan lokalitas.
Beberapa ahli mengatakan, penyebab kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia bukan karena jauh dari pergaulan dengan negara-negara maju, tapi justru karena adanya hegemoni dan intervensi yang kuat dari negara-negara maju, sehingga upaya pengentasan kemiskinan dan pembangunan negara dunia ketiga tidak akan pernah berhasil jika struktur hubungan antara negara-negara maju dan negara-negara miskin tidak diubah sebab struktur hubungan itu tidaklah sejajar, karena negara-negara maju cenderung bersifat hegemonik dan eksploitatif terhadap mitra-mitranya yang lebih lemah.
Maka dapat dikatakan bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap negara-negara maju adalah faktor utama mengapa negara-negara pinggiran seperti indonesia sulit berkembang maju. Berangkat dari asumsi bahwa negara-negara dunia ketiga memiliki dinamikanya tersendiri yang unik dan berbeda dari negara-negara kapitalis maka pendekatan dan teori yang dipakai juga mestinya harus berbeda, kontekstual.
Dalam relasi kuasa internal, skala nasional atau lokal, peran negara terhadap warga dapat diapresiasi dan dapat juga dikritisi, sebab negara masih cenderung korup, nepotis, dan menghalalkan segala cara, masih ada kesewenang-wenangan, negara belum benar-benar turun ke warga (grass root) bergumul dengan suka dan duka warga, menyelami potensi nasional dan lokalitas, memperbaiki kondisi warga, dan berpihak kepada kepentingan sosial secara universal---bukan hanya kepentingan kelas, gender, minoritas, disabilitas, agama, suku, partai atau identitas partikular lainya tapi suatu identitas universal dengan segala dimensi pluralitasnya---warga atau rakyat. Sehingga masuk akal saat banyak warga (free thinker) yang hati-hati dalam mengambil sikap untuk berpihak kepada negara, negara yang bagaimana dulu, apakah negara yang berpihak pada masyarakat warga atau negara yang berpihak pada kapitalis, pejabat dan kepentingan partikular lainya.
Dalam skala lokal sulut, torang mengamati kenyataan itu dengan dada yang sesak---bukan karena 'ketertigoanisme' atau sejenisnya---sebab alih-alih bacerita gagasan-gagasan besar, praktik demokrasi dilapangan dalam konteks gerakan sosial diluar lima tahunan pilkada, pilbup, pileg (demokrasi prosedural) tapi partisipasi publik dalam mengontrol kebijaksanaan negara atau menyuarakan kepentingan umum, sayang skali lumayan jauh dari ideal-ideal negara demokratik yang umumnya torang diskusikan di bangku-bangku akademis atau di ruang-ruang perkumpulan kaum muda, bahkan beberapa tahun lalu kawan-kawan gerakan sosial di sulut banyak yang mengkritik ke wakil rakyat sulut bahwa demokrasi di sulut sudah terkubur didalam tanah.
Memang tidak bisa dinafikan bahwa kondisi demokrasi di sulut beberapa tahun terakhir ada yang retak, atau mungkin jika dikatakan telah terkubur, dan toh rasanya cukup munafik untuk mengatakan demokrasi kita sedang baik-baik saja---apalagi demokrasi yang dimaknai secara dangkal, hanya sekadar pertandingan siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam jangka lima tahunan---sementara disisi lain juga secara nasional demokratisasi belum mencakup kehidupan sosial yang luas, terutama demokrasi ekonomi.
Sebagian warga berpikir dan menjawab masalah itu dengan gagasan-gagasan alternatif yang sering disuarakan lewat berbagai ruang salahsatunya adalah gagasan demokrasi deliberatif yakni sebuah gagasan mengenai sistem demokrasi yang menekankan partisipasi warga masyarakat sangat besar dihadapan negara dan pasar, sehingga dapat dikatakan juga sebagai negara yang berkedaulatan rakyat, menurut gagasan itu agar perikehidupan kebangsaan itu naik tangga, maju, adil dan makmur, syaratnya negara dan pasar mesti diletakan dalam posisi sekunder terhadap aspirasi rakyat dalam setiap aspek kebijaksanaan yang dilakukan.
Akhirnya, belajar dari kawan-kawan gerakan sosial progressif yang selalu aktif membela demokrasi, yang rajin menghidupkan optimisme, energi, imaji, dan nalar (critical thinking), bahwa upaya torang untuk terus menerus memihak hal-hal baik, menulis, mengkaji, meriset, berdebat, mendidik penguasa, mendialektikakan ideal-ideal demokrasi dan negara yang sebenar-benarnya merupakan salahsatu ikhtiar dan langkah progres untuk menghidupkan dan menumbuhkan demokrasi agar tidak lagi terkubur seperti dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H