Sabtu siang kemarin, 21 Agustus 2021. Saya dikejutkan dengan video call, setelah saya lihat dilayar handphone ternyata Salwa, keponakan saya. Setelah basa-basi sebentar dengan Salwa, kemudian Salwa menyerahkan handphone kepada sima, ibu saya. Siang itu, sima memberi kabar kalau nanti sore, adalah bertepatan dengan 40 hari meninggalnya bapak saya.
Tanpa terasa, tiba-tiba sima menanyakan, kenapa saya ga pulang? Dengan beberapa alasan, saya utarakan kenapa saya tidak bisa pulang, salah satunya adalah ada kesanggupan saya untuk menjadi rois tahlil salah satu tetangga saya, yang baru lima kemarin meninggal dunia. Bukan Covid-19 tetapi kecelakaan laka lantas tunggal di Jalan Parangtritis di sekitar area pasar Ngangkruk.
Dengan sedikit berlinang air mata, sima memakluminya. Tetapi ada rindu yang terpendam. Ada kangen yang mendalam. Sejak ditinggal bapak, Sima jadi sensitif sekali. Sebelumnya, Sima pernah cerita kalau suatu hari, anak-anaknya tidak ada yang mengunjunginya.
Hanya adik saya yang satu rumah saja yang setia menemaninya. Pernah juga suatu hari, ketika adik saya akan menyambangi anaknya yang masih mondok di salah satu pondok pesantren di Semarang. Waktu itu, keponakan saya yang sedang mondok baru sakit, sehingga adik saya harus menyambanginya ke Semarang. Tetapi bingung tidak karuan, karena tidak ada kunjung datang untuk sekedar menemani sima.
Akhirnya sejak saat itu, semacam ada kesepakatan bersama antara adik saya-yang tiap hari menemani Sima, dalam keadaan bagaimana pun juga-dengan sima. Sejak saat itu, sima seperti menerima dalam keterpaksaan. Orang tua mana sih, yang tidak senang ketika dikunjungi oleh anak-anaknya.
Karena mungkin kesibukan masing-masing anaknya. Sehingga ketika saat ingin ditemani, hanya ingin didengarkan cerita-cerita atau curhatannya menjadi saat-saat yang paling dibutuhkan saat itu.
Saya masih ingat permintaan sima, waktu menjelang peringatan 7 hari meninggalnya bapak. Bahwa sima ingin selalu ditemani anak-anaknya yang tidak punya kesibukan.
Saya waktu itu, menjadi serba salah, di sisi lain saya sudah berkeluarga yang berdomisili jauh dari sima, di sisi lain, dalam hati kecil saya ingin selalu menemani sima. Kemarin ketika saya tidak bisa pulang kampung di acara peringatan 40 hari meninggalnya bapak, mendapat cerita lain. Ada tangisan di mata sima.
Bapak, yang sudah tenang di alam sana. Maafkan saya, tidak dapat mendatangi makammu dan mengunjungi sima serta keluarga yang ada di Pemalang sana.
Dari Bantul sini, aku hanya bisa menitipkan surat rinduku, rasa kangenku dengan lantunan bacaan Surat Yasin dan untaian kalimah thoyyibah berupa kumpulan surat-surat Al Qur'an, dan sholawat Nabi yang terangkum dalam rangkaian bacaan tahlil, sebagai pengobat rasa rindu dan kangen yang begitu mendalam.
Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, teruntuk adik saya yang sudah merawat bapak dan sima, selama ini. Sudah mandegani semuanya sejak bapak hidup bersama satu rumah, ketika sakit hingga meninggal dunianya. Sampai peringatan 40 hari meninggalnya bapak.