Setelah membaca dan mencermati, diksi "toxic positivity" sebetulnya saya merasa agak kurang nyaman dengan diksi tersebut. Bagaimana mungkin "positivity" bisa menjadi "toxic". Terkait diksi ini, sempat terngiang -- ngiang dalam alam pikiran saya, yang coba saya review menurut perspektif saya sebagai orang biasa, orang kecil bukan dokter, bukan psikiater, bukan pula psikolog yang mungkin paling pas untuk berpendapat.
Daripada kegelisan ini menumpuk menjadi sampah pikiran dalam otak saya, mendingan saja saya keluarkan melalui tulisan ini.
Alasan pertama, terkait dengan diksi "toxic" atau racun, saya lebih sepakat dengan diksi "drug" atau "herb". Kalau di gabungkan menjadi "drug positivity" atau "herb positivity". Alasan penggunaan kata drug (obat) atau herb (jamu) lebih pas bila digabungkan dengan positivity, jika diletakkan dalam konteks konten nasehat atau berempati kepada seseorang atau teman terdekat kita yang lagi mengalami musibah/cobaan.
Alasan kedua, penggunaan diksi "positivity" atau berfikir positif atau berkata - kata yang positif. Menurut saya perlu ada syarat agar diksi "positivity" bisa kita pakai.
Adapun syarat -- syaratnya -- menurut saya -- syarat pertama, sesuai dengan situasi dan kondisi teman yang diberi nasehat. Jadi ketika situasi dan kondisinya tidak atau kurang mendukung tidak tidak bisa memakai diksi "positivity".
Syarat kedua, terkait bagaimana cara menyampaikan pesan atau nasehat. Ketika kita menyampaikan pesan atau nasehat, tidak dengan keikhlasan, tidak dari ketulusan hati nurani yang paling dalam, konteks "positivity" tidak bisa dipakai.
Syarat ketiga, adalah action dari pemberi nasehat atau pembawa pesan . Seorang pembawa nasehat "positivity" ini, harus faham dengan psikologi yang diberi nasehat. Apakah harus berkata -- kata, ataukah lebih baik diam saja, atau lebih baik menjadi pendengar setia saja atau harus melakukan gerakan tubuh lainnya, seperti merangkul , membelai rambut, atau mengusap air mata dan sebagainya.
Jadi kesimpulan saya, kalau perbuatan, atau kata -- kata penasehat kepada temannya malah tambah menyakitkan atau menjadi racun atau "toxic", berarti itu bukan "positivity". Dalam nalar pemikiran paling liar saya, positivity akan menjadikan obat atau "drug" dan jamu atau "herb". Diperkuat lagi bahwa fakta "positivity" tidak melulu tergantung pada konten kalimat yang di ucapkan oleh penasehat saja, tetapi konten ini harus di dukung tiga syarat yang saya utarakan di atas tadi.
Logika berfikir ini, persis saya dapat ketika berdiskusi tentang "Budaya". Pada waktu itu, ada seorang Budayawan dari Yogyakarta yang mempunyai pandangan bahwa sesuatu yang bermuatan negatif bukan termasuk budaya, contohnya malas. Budaya adalah hasil cipta, karsa, karya manusia yang bersifat positif. Demikian pula terkait "toxic positivity" menurut saya, sebagai orang kecil, orang desa yang punya pemikiran simpel terkait hal -- hal yang bersifat positif tidak akan menimbulkan racun, asalkan konten positif memenuhi tiga syarat diatas tadi.
Tidak mungkin "positivity" dapat menjadi racun, kalau menjadi obat atau jamu ya. Karena prinsip kerja dari obat atau jamu, pahit duluan sehat kemudian. Bisa jadi konten "positivity" yang tidak memenuhi 3 syarat : situasi dan kondisi teman yang dinasehati, cara penyampaian kepada teman yang dinasehati, gerak tubuh/gimmick penasehat.
Sekali lagi, ini hanya soal kegelisan saya saja, dilihat dari perspektif warga desa, wong cilik yang kurang wawasan, jadi bila ada yang kurang pas anggap saja seperti nyanyian ombak di Pantai Parangtritis di kala siang bolong. No debat. Titik.