Lihat ke Halaman Asli

Junaedi SE

Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Dunia Ini Panggung Sandiwara

Diperbarui: 28 Juli 2021   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cerita miris di balik Idul Adha. Cerita ini, saya dengar ketika saya masih dalam posisi isolasi mandiri (isoman) setelah menjalani perjalanan dari Pemalang ke Bantul. Singkat cerita, suatu sore aku yang masih duduk menyendiri di sudut rumah,  di suatu ruangan kecil berukuran 2X3 meter persegi.

Tiba- tiba saja, aku mendapat telpon dari seseorang panitia kurban disebuah perumahan di dekat kampungku. Intinya, bahwa dari Masjid di perumahan di mana Pak Ahmad (bukan nama sebenarnya) tinggal ada 30 puluh paket daging kurban yang masing -- masing paket beratnya kurang lebih  0,5 kilogram, sebagai tanda tresna dari warga perumahan kepada warga kampungku.

Karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dikarenakan  posisiku saat itu  baru isoman, kemudian aku  telepon Pak RT. Ketika aku telepon Pak RT, yang mengangkat telepon adalah  Bu RT, kata Bu RT, "pak RT baru ziarah ke makam orang tuanya yang sudah meninggal dunia".

Atas permintaan Pak Ahmad, yang butuh respon cepat terkait penyaluran daging kurban, maka saya mengutarakan maksud dan tujuan saya ketika menelpon Pak RT kepada Bu RT. Kemudian tanpa berpikir panjang, akhirnya saya minta bantuan Bu RT dan istriku untuk segera menindaklanjuti permintaan pak Ahmad tersebut. 

Berangkatlah istriku dan Bu RT, mengambil jatah daging kurban untuk dibagikan kepada warga kampungku, khawatir keburu malam. Aku percayakan kepada istriku dan Bu RT, untuk mendata by name yang secara skala prioritas lebih membutuhkan dilihat dari segi ekonomi keluarganya.

Sore itu juga, sepertinya lancar -- lancar saja daging kurban tersararufkan semuanya kepada warga yang berhak menerima menurut penilaian Bu RT dan istriku.  Tetapi setelah beberapa hari aku terbebas dari masa isoman.

Aku mendapat cerita dari istriku, terkait salah satu warga yang protes terkait pembagian daging kurban kemarin.  Sebut saja namanya Suritil (bukan nama sebenarnya). Suritil protes dikarenakan menurutnya, ia biasanya dapat jatah daging kurban dari perumahan koq kali ini tidak dapat. Bahkan sampai mengatakan istriku, katanya pilih -- pilih kasih dalam hal membagi daging kurban tersebut.

Ternyata, pengalaman menjadi panitia kurban itu, gampang -- gampang susah. Sedikit gampangnya lebih banyak susahnya, apalagi jika ketemu orang -- orang seperti Suritil. Iya begitulah, repotnya ketika diminta tolong oleh panitia kurban dari masjid lain  di dekat kampungku.

Repotnya lagi, ketika alokasi daging kurban yang akan di bagikan kepada warga jumlahnya  cuma sedikit, tidak sesuai dengan jumlah total warga kampungku. Belum lagi kalau ada orang seperti Suritil, dan ada mengkompori Suritil sampai  mengakibatkan Suritil mengalami rasa kecewa yang terlalu.

Akibatnya, Suritil bicaranya ngawur. Di beri penjelasan begini, begitu, cuma masuk telinga kanan, lalu keluar telinga kiri. Begitu seterusnya, sudah terlanjur pandangannya terhadap istriku yang ada cuma kejelekan, tidak adil kek, pilih --pilih kasih kek.

Padahal sebetulnya, kalau dilihat dari perekonomiannya Suritil sebagai pedagang yang muda dan  masih berdaya secara ekonomi dibandingkan dengan Mbok Rondo (bukan nama sebenarnya) yang tidak punya kerjaan apapun alias pengangguran, jelas lebih berhak Mbok Rondo dibanding Surtil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline