Lihat ke Halaman Asli

Junaedi SE

Crew Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID)

Sepi

Diperbarui: 18 Juli 2021   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Datang dan pergi. Bertemu dan kehilangan. Mendung tanpa hujan. Suasana batin yang teriris. Sepi terasa. Sejak ditinggal suami pergi. Umi Kulsum (80 tahun) menjalani hidup dalam kesunyian. Dalam sepi. Hampa terasa tanpa teman hidupnya. Biasanya, hari --harinya mereka lalui bersama. Berdua dalam suka dan duka. Sudah 60 tahun, mereka jalani. Kini mereka, sudah tidak bersama lagi. Walaupun semasa hidupnya, mereka jalani terkadang dengan kemarahan. Kejengkelan hati terkadang  tanpa sengaja riak -- riak kehidupan hadir dalam kehidupan mereka. Tetapi terkadang rona kebahagiaan muncul juga di tengah -- tengah perjalanan hidupnya. Tetapi kini, disaat ajal datang. Ajal datang tiba -- tiba. Tidak dapat dimajukan. Tidak dapat diundurkan. Suami tercinta menjemput takdir kematiannya. Ada seorang  yang barus saja hilang. Ada seorang  yang baru saja berpisah. Seorang teman hidup, disaat suka dan duka.

Setiap malam dalam sebuah sudut kamar kecil. Mereka lalui di sisa -- sisa hidup mereka. Kini di sudut kamar kecil, tinggallah wanita lanjut usia sendirian. Sendirian dalam duka. Sendirian dalam kerinduan. Sendirian dalam keheningan. Bacaan surat Yasin. Bacaan Tahlil dan kalimat thoyyibah lainnya yang dilantungkan oleh para tetangga, tak mampu mengusik keheningan malamnya. Inilah yang di khawatirkan oleh almarhum sebelum meninggal dunia. Menurut cerita Ibu Umi kulsum, pernah suatu ketika Muhammad Nasir mengungkapkan, "terus besok, kalau aku meninggal siapa yang akan menemanimu". Kata -- kata ini, yang sampai saat ini masih terngiang di alam pikiran Bu Umi.

Hingga pada malam kelima sejak kematian Pak Nasir, Bu Umi curhat kepada semua anak -- anaknya, intinya ia minta ditemani tiap malamnya sampai empat puluh malam. Aku sebagai salah satu anaknya tak kuasa, mau bilang apa. Aku sudah punya keluarga kecil, yang kebetulan jauh dari Pemalang. Kakak adikku, semuanya juga sudah berkeluarga. Saat ini, ibu serumah dengan adik perempuanku, Husna. Harapan satu -- satu bertumpu pada Husna. Tak kuasa menahan air mata, akhirnya menetes juga di kedua pipiku. Ibu, kini sendiri. Dalam kesendiriannya meminta ditemani anak -- anaknya. Permintaan sederhana, tetapi berat untuk merealisasikannya.

Dalam hati terkecilku, ingin mengabulkan sebuah permintaan itu. Andaipun aku bisa mengabulkannya tidak cukup membalas jasa -- jasanya padaku. Sembilan bulan dikandungnya. Sejak lahir sampai besar dirawatnya. Tetapi, aku sudah berkeluarga yang jaraknya lumayan jauh dari Ibu. Masih ada satu keluarga kecil di Bantul, Yogyakarta nun jauh di sana. Saat ini, sepi dan takut sendiri. Dulu masih ada bapak, yang setia menemani dari pagi hingga malam hari. Kini, tidak ada teman curhat. Kini, tidak ada sosok teman hidup. Kini hampa terasa. Kini Sepi dan takut sendiri.

Dalam benaknya, hanya permintaan simpel. Minta ditemani terus sampai 40 malam dari hari meninggalnya bapak. Sugeng tindak bapak. Allahummaghfirlahu warhamhu wa'fihi wa'fu 'anhu. Ibu, semoga malam -- malammu selanjutnya, selalu ditemani anak -- anakmu yang berdomisili di Pemalang sini. Mohon maaf, aku hanya bisa menemani malam -- malammu sampai malam  ketujuh. Sisanya, insya Allah ada solusi. Semoga, ibu tidak sepi lagi. Tidak takut lagi. Kami semua anak -- anakmu selalu mencintaimu, bapak dan ibu.

Ibu. Sehat selalu. I love you, my mother.

JUNAEDI, S.E., Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline