"Jika desa adalah ibu bumi, sebagai tempat kembali dan berbagi, maka inklusi adalah salah satu jalan untuk kembali, setapak jalan untuk menempuh perjalanan kembali kepada ibu bumi, dari belasan jalur yang digagas dan diperbincangkan dalam Kongres Kebudayaan Desa tempo hari. Masihkah kita akan percaya dengan petitah- petitih yang mendendangkan lagu pembangunan tanpa keadilan, pertumbuhan tanpa pemerataan, pemanfaatan alam tanpa penghormatan, logika tanpa kebijaksanaan, pendidikan tanpa pembelajaran, agama tanpa kemanusiaan, kebudayaan tanpa nilai? Lihatlah mereka terseok-seok, tergopoh-gopoh, menunggu kapan waktu akan tumbang. Desa, keluarga, petani gurem, buruh dan kuli bangunan, perempuan, anak haram, lansia, waria, difabel, penghayat kepercayaan adalah orang pinggiran". Demikian kutipan naskah puisi mencari jalan pulang catatan orang pinggiran karya Wahyudi Anggoro Hadi dalam gelar budaya festival inklusif seratus persen.
Dari desa, dari mindset desa, saya mencoba mengajak semua warga desa untuk membahas terkait inklusi sosial. Pentingnya media komunitas termasuk media desa dalam membuat konten video narasi damai dan sensitivitas gender. Bagaimana persoalan konten narasi media yang mempublish konten narasi hoaks, hate speech, radikalisme, terorisme, intoleransi dan bias gender tentang peran perempuan dalam pembangunan di negeri ini? Sudah saatnya, media komunitas membuat konten terkait konter narasi hoaks, hate speech, radikalisme, terorisme, intoleransi dan bias gender dengan narasi damai tentang moderasi beragama dan sensitivitas gender. Jangan biarkan media komunitas yang membuat konten narasi tidak damai, hidup di bumi Indonesia. Lawan konten narasi tidak damai dengan konten narasi damai.
Pageblug Covid -- 19 yang telah meluluhlantahkan semua sendi -- sendi kehidupan manusia seharusnya dapat merekonstruksi alam pemikiran kita untuk meluruskan kembali pemahaman kita terkait moderasi beragama dan sensitivitas gender. Konten narasi hoaks, hate speech, radikalisme, terorisme, intoleransi dan bias gender tak mampu merubah wajah negeri dari eksotika bhinneka tunggal ika (keberamanan) sebagai rahmat dari Allah SWT, bukan sebagai pemecah belah negeri dan bangsa ini. Covid -19 juga mengobrak -- abrik jalan hoaks, hate speech, radikalisme, terorisme, intoleransi dan bias gender terseok -- seok dan tergopoh -- gopoh serta tinggal menunggu saatnya kapan akan tumbang.
Konten narasi damai tentang moderasi beragama dan sensitivitas gender adalah narasi yang ditulis untuk mendesakkan agar yang terpinggirkan ditengahkan, agar yang terdiamkan dibicarakan, agar yang terbelakangkan didepankan, agar terbangun konstruksi baru, kesadaran baru. Konten narasi damai mensyaratkan hadirnya aktor-aktor baru, dengan konstruksi berpikir dan kesadaran baru. Konten narasi tidak damai sebagaimana yang kita saksikan hari ini, terengah-engah dihajar oleh kehendak alam, kehendak Tuhan.
Ternyata dari pengalaman mengikuti pelatihan capasity building yang diadakan oleh El Bukhari Institute, banyak media komunitas dari lintas agama dan perempuan di luar sana, yang semisi dan sevisi untuk memberi pemahaman tentang moderasi bergama dan sensitivitas gender, termasuk media sanggar inovasi desa . Belum lagi organisasi kemasyarakatan di luaran sana yang tertarik dan konsen terkait isu -- isu moderasi agama dan sensivitas gender. Marilah kita sebarkan virus moderasi beragama, sebagai agama dengan kemanusiaan. Bagi pemeluk agama Islam, jadikanlah Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi alam semesta. Begitu eksotikanya ketika keberagaman menjadi sesuatu yang indah. Orkestrasi narasi damai oleh media komunitas lintas agama akan menjadi pertunjukan terindah di masa Pandemi Covid -- 19.
JUNAEDI, S.E., Tim Media Yayasan Sanggar Inovasi Desa (YSID).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H