Budaya baca tulis di Indonesia memang masih tergolong rendah. Hal itu dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Kemendikbud pada tahun 2019, tentang Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi yang menyatakan bahwa Indeks literasi nasional masuk dalam kategori aktivitas literasi rendah, sedangkan pada indeks provinsi sebanyak 9 provinsi masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi masuk dalam kategori rendah, dan 1 provinsi masuk dalam kategori sangat rendah. Artinya, baik secara nasional maupun provinsi tidak ada yang masuk kategori tinggi.
Menyambut hal di atas, belakangan ini banyak sekali bermunculan gerakan literasi, terutama yang digerakkan oleh individu atau perorangan. Mereka berjuang dengan sukarela demi terjangkaunya literasi di tengah-tengah masyaraka, bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Karena itu, banyak bermunculan perpustakaan, taman baca, dan sejenisnyayang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.
Buku ini berisi 26 karya terbaik peserta "Lomba Menulis Kisah Pejuang Literasi Nasional" yang dilaksanakan oleh Penggerak Literasi Pedesaan (perpusde.id), CV Lokajaya Media dan CV. Tirta Buana Media. Kisah-kisah yang dihadirkan di dalam buku ini sangat inspiratif dan mengesankan, sesuai dengan tujuan diterbitkannya buku kumpulan kisah ini, memaang untuk dijadikan referensi dalam hal pengalaman para tokoh pejuang literasi dalam membangun dan mengembangkan literasi di pedesaan. Dengan buku ini, para pembaca akan bergumam, " Ternyata membangun literasi di desa itu gak gampang, ya. Tapi dengan tekad yang kuat, mereka terbukti dapat melakukannya."
Namanya Bambang Dwi Putranto, biasa dipanggil Pak Bambang. Ia tinggal di Desa Buluagung, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Gerakan ini bermula dari minat dan semangat Pak Bambang untuk membangun manusia yang berperadaban, cinta akan ilmu dan berwawasan. Ia memiliki rasa empati terhadap anak-anak di desa tersebut. Akhirnya Pak Bambang dan kawan-kawannya mendirikan komunitas pegiat literasi.
Kegiatan yang dilakukan pertama kali oleh Pak Bambang adalah mengundang anak-anak untuk menonton film anak-anak. Kegiatan menonton film ini bertujuan unutk menarik perhatian anak-anak untuk mengunjungi buku-buku yang ada di komunitas. Buku-buku tersebut di tampung di balai desa. Kegiatan tersebut tidak berpindah tempat karena balai desa merupakan tempat berkumpul yang paling sentral bagi masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Pak Bambang berhasil membawa Perpustakaan Lentera Desa memiliki Sertifikat Akreditasi B. Selain itu, Perpustakaan Lentera Desa juga memenangkan Lomba Perpustakaan Desa Tingkat Provinsi Jawa Timur yang masuk dalam kategori 10 nominator. Perpustakaan Lentera Desa juga meraih Juara 1 Lomba Perpustakaan Umum Terbaik (Desa/Kelurahan) Tingkat Provinsi Jawa Timur [hlm 34].
Namanya Raden Roro Hendarti, biasa dipanggil Roro. Ia adalah pejuang literasi asal Desa Muntang, Kec. Kemangkon, Kab. Purbalingga. Karirnya dalam dunia literasi berbasis pemberdayaan masyarakat sudah tidak diragukan lagi, dan akan saya ceritakan sepak terjangnya yang sudah malang melintang berikut ini [hlm 144].
Programnya, Roro akan menarik sampah dengan roda 3 sambil membawa buku perpustakaan keliling kampung. Sederhana saja programnya, bagaimana melaksanakannya? Roro mulai dari Posyandu Balita Widodo 1, sambil menyelam minum air, sekali dayung, 2-3 pulau terlampui. Selaku Aparat Pemdes Roro bertugas di bidang kesehatan memantau jalannya Posyandu, sebagai kader kesehatan juga bertugas di Posyandu. Selaku direktur Bank Sampah, Roro harus mensosialisasikan pemilahan dan pengolahan sampah serta menarik sampah dan sebagai kepala perpustakaan harus meningkatkan layanan perpustakaannya.
Alhamdulillah kehadiran Roro di Posyandu 1 dengan membawa roda 3 dan buku-buku bacaan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Masyarakat sangat berterima kasih karena dibawakan buku, selama ini mereka membaca buku tetapi tidak ada waktu ke perpustakaan.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku ini layak di miliki dan layak untuk di baca oleh siapa saja yang peduli terkait isu-isu literasi, karena berisi best practice dari 26 kisah para pejuang literasi nasional dalam membumikan virus literasi di nusantara. Buku sebagus ini, tidak didukung oleh penampilan keseluruhan buku, mulai dari cover buku, kertas yang digunakan dan tanpa disertai foto-foto pejuang literasi ketika berinteraksi dengan masyarakat di desanya, sehingga sedikit mengurangi daya tarik bagi pembaca.