Mendung tanpa hujan, ketemu dan kehilangan, semua itu yang dinamakan perjalanan. Dunia beserta alam raya sedang berduka, tak terkecuali dunia Indonesia. Dari kota - kota besar hingga pelosok - pelosok desa pun sudah terjamah oleh keganasan Covid -19. Dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Desa merasa kewalahan menjalankan tugas - tugas kenegaraannya dalam rangka melindungi hak dan kewajibannya terhadap warga negaranya terkait masalah penanganan Covid - 19.
Dan wabah Covid - 19 pun seakan tidak tinggal diam seolah menabuh genderang perang menghadapi strategi dan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang terkenal dengan protokol kesehatan ketatnya. Beberapa kebijakan pemerintah pusat, seperti PSBB, PPKM Mikro dan yang baru - baru ini adalah PPKM darurat pun di putuskan sebagai langkah untuk menghadapi perang melawan wabah Covid - 19.
Sudah berapakah tenaga medis, seperti dokter dan perawat pun menjadi korban Covid - 19? Sudah berapakah PNS dan aparatur sipil lainnya, yang meninggal dunia akibat Covid - 19? Sudah berapakah ulama dan kyai, yang menghadap ilahi rabbi dikarenakan terinfeksi Covid - 19? Sudah berapakah warga negara Indonesia lainnya yang berpulang ke rahmatullah sebagai penderita positif Covid - 19? Kekacauan sistem manajemen kesehatan semesta yang telah diciptakan oleh manusia melalui lembaga yang bernama pemerintah, terus berujung pada keterancaman jiwa - jiwa warga negaranya.
Alokasi dana yang begitu besarnya, yang sudah digelontorkan oleh negara pun tidak bisa berbanding lurus dengan penurunan yang signifikan angka pasien poistif Covid - 19. Bahkan sampai saat ini kalau boleh di bilang negara sudah hampir mengibarkan bendera putih, sebagai pertanda menyerah dikarenakan sudah tidak mampu untuk memberikan perlindungan hak dan kewajiban di bidang kesehatan kepada warga negaranya, terkait penekanan penyebaran virus Covid - 19.
Negara semakin kelihatan kacau ketika dihadapkan pada persoalan jaminan kesehatan warga negara terhadap penanganan Covid -19, terlihat dari fakta di lapangan, bahwa RS /Shelter yang didirikan oleh Pemerintah Daerah ditingkat Provinsi atau Kabupaten, sudah tidak mampu menampung pasien positif Covid - 19 warganya. Pertanyaannya lalu bagaimana ketika ada salah satu warga desa yang terkena positif Covid -19, akankah isolasi mandiri (isoman) di rumah sementara di sisi lain ada jiwa -- jiwa lain yang ada di rumah tersebut terancam?
Ataukah akan selamanya menunggu dan menunggu dalam ketidakpastian kapan giliran mendapat tempat di RS/ Shelter Kabupaten atau RS Rujukan yang penuh terus tanpa menyisihkan ruang kosong untuk ditempati?
Mendung tanpa hujan, ketemu dan kehilangan, semua itu yang dianamakan perjalanan. Pagi itu ada seorang warga desa Panggungharjo, salah satu warga saya yang berdomisi di rusunawa Padukuhan Glugo positif terkena Covid - 19 yang tadinya di rawat di Shelter Gabungan Desa yang beralamat di eks SMKN 2 Sewon. Saya bersama PTC - 19 jilid 2 yang beranggotakan semua elemen stake holder yang terdiri dari pamong desa dan semua tokoh masyarakat Desa Panggungharjo telah berkoordinasi secara intensif dengan pihak Puskesmas Sewon 2, untuk segera di fasilitasi setidaknya untuk mendapatkan ruangan di Shelter Kabupaten dikarenakan kondisinya semakin memburuk.
Sudah semalaman pasien dievakuasi dan akhirnya hanya dapat ke RS Nur Hidayah, tetapi karena RS Nur Hidayah bukan RS rujukan akhirnya pasien dipulangkan kembali. Tetapi apa yang terjadi dengan sikap Pemerintah Kabupaten Bantul tetap menolak untuk memberi satu ruangan di Shelter Kabupaten dan tetap menyarankan harus ditampung di Rumah Sakit, dan meminta untuk mengantri di IGD dengan tanpa rujukan dengan dalih atas nama warga. Pasien tersebut bernama Pak Muji, dalam hitungan kurang dari seminggu sudah kehilangan tiga anggota keluarganya. Satu orang istrinya dan dua orang anaknya. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.
Dalam situasi dan kondisi Pemerintah Kabupaten Bantul seakan melempar tanggung jawabnya, Saya sebagai Lurah Desa Panggungharjo betul - betul marah dengan situasi kondisi seperti ini. Dan dengan sangat terpaksa saya katakan, "bahwa Pemerintah Kabupaten tidak bertangung jawab." Sebagai Lurah yang sudah berjanji dan bersumpah di hadapan Gusti Allah SWT waktu itu, ketika dilantik menjadi Lurah Desa Panggungharjo, bahwa saya akan bersungguh - sungguh menjalankan tugas dan kewajiban saya sebagai Lurah Desa Panggungharjo dengan sebaik - baiknya, sejujur - jujurnya dan seadil - adilnya, maka dalam situasi dan kondisi sesulit apa pun saya tidak akan tinggal diam untuk mempertanggungjawabkan jabatan saya sebagai Lurah Desa Panggungharjo seraya berihtiyar dengan sekuat tenaga untuk merawat Pak Muji dalam kondisi kesehatan yang semakin menurun.
Paling tidak tanggung jawab sebagai penguasa negara dalam wilayah terkecil , dan untuk memberikan penghormatan saya kepada warga desa saya. Setelah menemui jalan buntu lewat jalur Pemerintah Kabupaten Bantul, sebagai ihtiyar terakhirnya yang saya lakukan adalah dengan berkolaborasi dengan Sambatan Jogja (SONJO) Rewangan, dimana kebetulan posisi saya juga sebagai anggota WAG SONJO.
Sebetulnya ada dua RS yang bisa menampung pasien Covid - 19 yaitu RSIY PDHI dan RSLKC, tetapi setelah ditanyakan lebih lanjut terkait ICU keduanya tidak ada Ventilator (ICU) - nya. Alhamdulillah, melalui jejaring SONJO akhirnya ada satu RS yang konfirmasi bisa menerima yaitu RSLKC tetapi dengan pelayanan sebatas kapasitasnya, sementara RSIY PDHI penuh.