Lihat ke Halaman Asli

Junaedi

Pencangkul dan Penikmat Kopi

Runtuhnya Ekonomi Cengkih di Kampung Kami

Diperbarui: 28 Juli 2023   05:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cengkih Siap Petik (Dok. Pribadi)

KOMODITAS cengkih merupakan "salah satu" komoditas unggulan yang "pernah" menjadi penopang utama ekonomi di Wonosalam Jombang. 

Saya katakan "salah satu", karena di Wonosalam ada beragam komoditas yang saat ini mendominasi atau mulai menggeser komoditas cengkih, yaitu kopi dan durian yang saat ini trend-nya terus meningkat. Kemudian saya katakan "pernah" karena sejak sepuluh tahun terakhir setidaknya, daya topangnya untuk perekonomian Wonosalam mulai melemah.

Kenapa melemah? Ada banyak penyebab sebenarnya. Salah satu penyebabnya adalah sejak terserang penyakit Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) sekitar 2010-an lalu, populasi tanaman cengkih yang produktif berkurang drastis, mungkin saat ini tinggal 20-25 persen yang tumbuh dan berproduksi secara normal dibandingkan sebelum terserang penyakit yang sampai sekarang sulit dikendalikan itu.

Penyakit BPKC sendiri merupakan salah satu penyakit tanaman cengkih yang paling merusak dan menghancurkan perkebunan di satu wilayah. Bukan saja menurunkan tingkat produktivitas tanamannya, tetapi bisa langsung membuat tanaman cengkih "meranggas" dan mati.

Bukan perkara mudah untuk menanam kembali sampai bisa berproduksi optimal, butuh waktu puluhan tahun. Itupun kalau tidak mati tanamannya atau tidak layu sebelum berkembang. Tak sedikit usaha pemulihan yang telah dilakukan oleh petani cengkih di Wonosalam, namun biasanya usia 3-4 tahun tanaman cengkih itu layu dan mengering.

Padahal tanaman yang dikembangkan sejak awal 1970-an itu pernah menjadi penopang utama perekonomian masyarakat Wonosalam. Itu terjadi pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an sebelum muncul tragedi kebijakan masa orde baru dengan memunculkan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) yang pada 1998 lalu Los Angeles Times menyebutkan bahwa BPPC merupakan simbol kebobrokan dan kejatuhan ekonomi Orde Baru dengan nepotisme dan penipuannya. BPPC kemudian dibubarkan pada jaman Presiden Abdurahman Wahid.

Petik Cengkih (Dok. Pribadi)

Ketika itu, saat panen raya, yang umumnya terjadi pada Juli-Agustus, aktivitas masyarakat Wonosalam hampir terkonsentrasi dengan tanaman cengkih. Mulai memetik bunga-bunga cengkih, memisahkan tangkai dan bunga, proses pengeringan, dan sebagainya banyak yang melibatkan tenaga kerja, tua-muda, laki-laki dan perempuan, bahkan anak-anak ikut "merayakan" panen raya, meskipun bukan pemilik kebun. 

Demikian juga dengan lalu-lalang pedagang cengkih, tak pernah sepi. Bahkan sebelum ada BPPC, tak sedikit perusahaan rokok yang terjun langsung membeli cengkih ke petani. Tentu dengan harga yang lebih "merayu" petani atau harga yang lebih tinggi dibanding dengan harga pedagang biasa.

Memisahkan Tangkai dan Bunga Cengkih (Dok. Pribadi)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline