[caption id="attachment_91231" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: www.kaskus.com"][/caption]
GOWOK! Entah mengapa salah satu jenis buah-buahan ini mempunyai nama yang unik tetapi sangat tidak “seksi” dan “nyentrik” layaknya buah-buahan lain yang lebih marketable memenuhi etalase pasar buah. Menurut catatan dalam wikipedia, tanaman gowok ini termasuk anggota suku jambu-jambuan atau Myrtaceaeyang berasal dari Indonesia, khususnya Jawa dan Kalimantan. Nama buah ini menurut orang Betawi disebut gohok, orang Sunda menyebutnya kupaatau kupa beunyeursedangkan di Jawa disebut gowokdandompyong. Di kampung saya sendiri dikenal denganbuah gowok.
Bagi saya, buah ini mengingatkan pada masa sekolah dasar. Di depan SD di kampung saya dulu, masih saya temui penjual buah ini yang menggelar dagangannya di depan sekolah setiap jam istirahat tiba, selain itu mereka juga menjual dengan cara di-ider-kan (dikelilingkan) dari rumah ke rumah. Selain itu, kawan-kawan saya yang rumahnya persis di kaki gunung seringkali kalau ke sekolah membawa buah-buahan ini.
Maklum saja, menurut berbagai literatur, buah ini akan tumbuh dengan baik baik jika berada pada ketinggian 1000-1800 meter dari permukaan air laut, meskipun bisa juga tumbuh pada ketinggian 200 meter dari permukaan laut.Itulah mengapa teman-teman SD saya yang berada pada ketinggian itu, tepatnya persis di kaki Gunung Anjasmoro, sering membawa ke sekolah buah gowok hasil dari pekarangannya. Umumnya tanaman ini tumbuh liar di hutan-hutan dan sebagian ada yang ditanam di kebun atau pekarangan.
Dulu di kawasan pegunungan Anjasmoro —salah satu kawasan di Jombang selatan yang pernah di-“obok-obok” naturalis asal British, Alfred Russel Wallace, yang terkenal dengan garis imajinernya, ketika melancong ke Jombang pada tahun 1861 untuk mengumpulkan spisemen burung merak dan mengunjungi kebun-kebun kopi—, pohon gowok ini tumbuh subur dan berlimpah jumlahnya. Umumnya menjadi bagian dari tanaman pekarangan atau tumpangsari dengan tanaman kopi. Secara fisik ketinggian batangnya bisa mencapai belasan meter, buahnya berbentuk bulat sebesar jempol kaki orang dewasa dengan kulit buah yang sudah tua berwarna ungu kehitam-hitaman dan rasanya manis agak asam.
Pada tahun 1990-an, buah ini sangat terkenal di kampung saya. Mungkin karena dulu belum banyak pilhan buah dan atau tingkat ekonomi dan selera masyarakat yang relative monoton, menyebabkan buah ini menjadi salah satu pilihan utama. Namun sekarang saya sulit bahkan tak menemukan lagi. Termasuk penjualnya yang dulu dalam ingatan saya, menggendong bokor dari anyaman bambu. Sementara itu penjual buah di kampung saya saat ini juga lebih tertarik menjual buah yang dianggap eksotik dan bernilai ekonomi tinggi seperti durian yang memang menjadi salah satu andalan produk lokal kampung saya—durian bido adalah varietas endemik di kampung saya dan telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai Varietas Unggul yang ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 340/Kpts/SR.120/5/2006.
Beberapa waktu lalu, saya juga menjumpai para penjual buah di pinggir jalan kampung mulai menjual buah-buahan impor, buah-buahan yang juga membanjiri toko-toko buah di kota-kota besar, buah yang dianggap unggul segalanya, termasuk unggul tingkat keawetannya. Entah teknik pertanian macam apa yang bisa menghasilkan produk buah-buahan dengan tingkat keawetan seperti itu. Dengan demikian, lengkap sudah ketersisihan buah gowok ini. Buah yang pernah menjadi andalan jajanan saya waktu SD dulu.
Buah gowok, masih adakah di tempat Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H