Lihat ke Halaman Asli

Junaedi

Pencangkul dan Penikmat Kopi

Jejak Flores (3): Hiburannya Hanya Babi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12926948281703634468

BEBERAPA bulan lalu di awal tahun, ketika saya baru beberapa hari menjejakkan kaki di pulau yang masih sangat asing bagi saya ini, saya mendapat SMS dari salah satu adik sepupu yang masih duduk di bangku kelas 4 SD. Inti SMS-nya adalah tentang hiburan apa yang ada di Pulau Flores ini. Saya pun menjawab, bahwa hiburannya untuk sementara ini hanya babi. Hanya babi? Ya, itulah salah satu kenyataannya. Disamping karena belum banyak mengenal medan, waktu itu saya juga belum dapat mengakses hiburan atau informasi lain seperti dari televisi atau radio. Maklum, saya tinggal dipinggiran kota kecil, meskipun termasuk kota paling besar di pulau ini. Siaran televisi atau radio-radio seperti yang di Jawa hanya bisa diakses lewat antena parabola, sementara stasiun radio lokal yang bisa tertangkap hanya 3 stasiun, itupun siarannya tidak non stop 24 jam dan dengan kualitas penerimaan yang kemresek atau banyak nois. Namun begitu, agar tidak jenuh, maka tak ada alasan bagi saya untuk tidak menghibur diri. Saya tetap bersyukur masih bisa menikmati kekayaaan alam sekitar tempat tinggal, gunung-gunung dan perbukitan yang gersang, laut yang panas kadang ganas, termasuk juga pemandangan “parade babi”, telah menawarkan pesona keindahan yang tak terkira. Bagi saya, parade babi di sekitar pekarangan atau di sekitar tempat tinggal saya terlihat begitu lucu-lucu jika berjalan beriringan, apalagi yang kecil-kecil dan berwarna bule atau putih kemerah-merahan. Kelucuan-kelucuan dari iringan babi yang berjalan-jalan inilah untuk sementara menyita perhatian saya dan menjadi hiburan tersendiri. Sebelumnya saya tak pernah melihat pemandangan seperti ini, sebab saya selalu tinggal di lingkungan yang jauh “berbeda” dengan lingkungan saat ini. Barisan babi juga lebih sering saya temui ketika menyusuri pelosok-pelosok desa di pulau ini. Di kawasan ini, ternak babi memang terlihat sangat dominan. Ini tidak hanya disebabkan oleh tradisi atau budayanya, tetapi juga karena sistem kepercayaan masyarakatnya yang sangat mendukung. Hanya saja yang menjadi masalah adalah babi-babi itu dibiarkan berkeliaran meskipun berada di dekat kawasan perkotaan atau padat penduduk, sehingga kota terkesan tak teratur, kotor, kumuh dan tak menyehatkan. Dan, seperti kata orang-orang yang saya kenal di sini, akan menjadi masalah yang lebih besar lagi kalau kita berani mengusir dengan cara yang kasar dan membabi-buta menyakiti babi-babi yang berkeliaran ini, atau ketika kita berkendara dan menabraknya, sebab kita akan dihadapkan bukan hanya dengan babinya, tetapi juga dengan pemilik babi itu. Mereka bisa menuntut dan meminta ganti rugi yang besarannya tak tanggung-tanggung, bisa seharga sapi! Namun begitu, disamping tetap berhati-hati dan waspada, termasuk tidak mengonsumsinya seperti perintah dalam risalah suci yang saya pelajari, bagi saya tak ada alasan untuk membenci dan menjauhi atau pun melaknat binatang ini. Saya tak punya hak ataupun kapasitas untuk melakukannya. Bagi saya, yang terpenting dan yang masih saya perlukan adalah pemahaman saya terhadap babi, baik sifat atau karakter maupun tingkah lakunya dan tetap membiarkan babi menjadi babi. Intinya, saling menghormati antar sesama ciptaan Tuhan. Itu saja!   Artikel terkait: Jejak Flores (2): Sikka, Desa Tua yang Terlupa! Jejak Flores (1): Menyusuri Desa Sikka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline