[caption id="attachment_80126" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://foto.detik.com"][/caption]
MENYIMAK tulisan-tulisan kompasianer yang membahas tentang PKI yang keluar dari mulut Ruhut Sitompul kayaknya sangat menarik. Ada beberapa kompasianer yang mengulasnya dari beberapa sudut pandang. Ini muncul berangkai setelah kasus unjuk rasa masyarakat Yogyakarta yang melawan "pemerintahan demokrat" di bawah kendali SBY yang menginginkan pemilihan langsung Gubernur Yogyakarta. Unjuk rasa yang dilakukan puluhan ribu orang di Yogyakarta itu pun akhirnya memicu mulut Ruhut Sitompul njeplak terbuka. Nah, ucapannya inilah yang akhirnya memicu beberapa kompasianer untuk mengulasnya. Juru bicara DPP Partai Demokrat itu melihat aksi masyarakat Yogyakarta yang pro penetapan, sama sekali tidak mencerminkan masyarakat Yogya, bahkan dia menyamakan aksi tersebut seperti aksi massa PKI pada tahun 1965. Sebenarnya tak hanya Ruhut yang mengatakan begitu, bekasa Rektor Universitas Gajah Mada Ichlasul Amal pun menilai bahwa cara show of force atau menunjukkan kekuatan besar dengan mengerahkan ribuan massa, adalah cara lama yang dilakukan PKI dulu dalam mem-fait accompli keputusan Keraton dengan masyarakat Yogya. Karena itu, dia merasa aneh kenapa cara lama ini kemudian malah dipakai Keraton untuk mem-fait accompli keputusan pemerintah [klik di sini] meskipun kemudian dibantahnya [klik di sini]. Sesunguhnya saya bingung untuk menentukan siapa yang PKI dan siapa yang paling tahu gerakan PKI itu? Ketika kata "PKI" itu muncul, yang terbersit di benak saya adalah darah, pembantaian para jenderal dan doktrin pelajaran sejarah sewaktu SD. Harap makhlum, ketika SD, saya tak hanya dicekokin "dongeng" dari guru-guru saya, tetapi juga hampir tiap tahun saya juga "terpaksa" menonton film G 30 S PKI yang ketika itu selalu ditayangkan di TVRI. Selepas mengikuti upacara peringatan hari kelabu itu, kami digiring oleh guru-guru untuk nonton bareng film itu di rumah tokoh desa sekaligus tokoh Golkar di desa, yang dekat dengan sekolah. Tokoh-tokoh yang sering disebut PKI yang terkenal adalah DN Aidit dan Letkol Untung. Sementara Soeharto seolah-olah menjadi tokoh penyelamat Indonesia. Selain itu, kalimat yang paling saya ingat sampai sekarang adalah: "Darah itu merah, Jenderal!", yang entah siapa yang mengucapkan dalam film itu. Lalu apa hubungannya dengan aksi massa di Yogyakarta? Kayaknya sihtak ada hubungannya, cuma hanya ada masalah. Masalahnya adalah ucapan dua orang ternama tersebut yang menghubung-hubungkan aksi massa itu dengan aksi massa PKI jaman dulu. Kokmereka berdua tahu? Entahlah, mungkin saja mereka punya "indera" kesekian. Tetapi bagi saya yang masih bingung ini, sederhana saja menilainya, yang paling tahu gerakan PKI adalah pertama, Tuhan Sang Penguasa Jagat; kedua, Malaikat yang diutus Tuhan untuk mencatat segala amal perbuatan manusia; ketiga, jin, dedemit dan makhluk halus lainnya yang memungkinkan ngintip dan nguping rapatnya PKI; dan yang keempat yang paling tahu gerakan PKI adalah PKI itu sendiri!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H