Lihat ke Halaman Asli

Junaedi

Pencangkul dan Penikmat Kopi

Menyapu Sampah, Mendulang Rupiah!

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1290894455684436444

ADALAH hal biasa jika pada bulan Mei sampai November di kawasan dataran tinggi Wonosalam, sekitar 30 Km arah tenggara kota Jombang, atau sekitar 70 Km arah barat daya kota Surabaya, kita menjumpai banyak karung-karung berisi daun-daun cengkeh yang ditumpuk di tepi-tepi jalan atau di pinggiran kebun. Ya, daun-daun cengkeh sejak pertengahan tahun 90-an mulai naik daun. Semenjak krisis harga bunga cengkeh akibat ulah arogan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh atau BPPC yang tak ubahnya seperti VOC di masa lalu, di awal tahun 90-an sampai muncul prahara moneter 1997-1998, banyak investor luar kota yang membangun ketel destilasi atau penyulingan minyak cengkeh. Di kampung yang penulis tempati saja sampai saat ini ada beberapa usaha penyulingan yang masih bertahan dengan jumlah rata-rata tiga ketel setiap tempat penyulingan. Hasil penyulingan cengkeh berupa minyak atsiri atau terkenal dengan sebutan clove oil. Minyak cengkeh mengandung 70-90 % eugenol. Eugonol mampu menjadi zat antijamur dan antiseptik serta campuran obat gosok hangat pereda nyeri. Sebenarnya, semua bagian tanaman cengkeh mengandung minyak, mulai akar, kulit, bunga, daun maupun tangkainya. Hanya saja, kadar paling tinggi terdapat pada bunga, tangkai dan daunnya. Pada bunganya kandungan minyak atsirinya mencapai 20%. Sementara itu, kandungan minyak atsiri yang terdapat pada daun-daun cengkeh kering antara 1-3%. Ini yang paling banyak disuling, disamping harganya relatif murah juga untuk mendapatkan nilai tambah dari daun-daun kering yang selama belum termanfaatkan dengan optimal. Jadi, kalau satu ton saja dapat diperoleh minyak sebanyak 10 sampai 30 kilogram. Ini semua tergantung dari proses dan kondisi penyulingannya serta waktu gugurnya daun. Proses penyulingan yang tidak tepat juga akan berpengaruh pada kwantitas minyak. Demikian juga daun-daun yang gugur pada musim hujan, kandungan minyaknya sangat rendah. Sebaliknya daun-daun cengkeh yang gugur pada musim kemarau (bulan Juni-Oktober) akan mempunyai kandungan minyak yang sangat tinggi. Dengan harga daun cengkeh kering saat ini Rp. 250-500 per kg maka untuk satu ton diperlukan biaya sebesar Rp. 500.000. Kita ambil rata-rata rendemennya 2 % maka dari satu ton akan dihasilkan 20 kg. Kemudian ditambah dengan ongkos tenaga penyulingan, Rp 50.000. Bahan bakar Rp. 20.000 dan biaya transportasi dan lain-lain katakanlah Rp. 50.000. Total biaya produksi sebesar Rp. 620.000. Kalau harga saat ini terendah Rp. 40.000 per kg maka hasil penjualan sebesar Rp. 800.000. Jadi masih ada selisih Rp. 180.000. Ini hitung-hitungan dengan ongkos produksi tertinggi dan rendemen daun di bawah rata-rata, sedangkan harga jual mendekati angka terendah, karena pada saat tertentu harga jual minyak cengkeh bisa melangit sampai Rp. 60.000 per kg. Ini baru satu ketel dan satu proses penyulingan, padahal satu ketel biasanya dapat digunakan 2-3 kali penyulingan dalam satu hari! Jadi kita tinggal menghitung sendiri berapa keuntungannya. Disamping itu, setelah proses penyulingan dilakukan, bukan berarti daun-daun yang telah menjadi ampas dari proses penyulingan tidak dapat dimanfaatkan lagi. Daun-daun tersebut masih dapat dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar dalam proses penyulingan berikutnya. Dengan demikian, akan menghemat penggunaan kayu sebagai bahan bakar utama. Kemudian juga, abu hasil pembakaran daun-daun cengkeh bekas itu masih dapat dimanfaatkan lagi menjadi media tanam ataupun pupuk organik. Dampak sosialnya juga tak boleh dianggap kecil. Adanya penyulingan ini, telah membuat rangkaian mata rantai bisnis yang cukup panjang. Mulai dari petani cengkeh, penyapu daun, pengumpul di lapangan, transportasi, para pekerja di penyulingan dan sebagainya. Untuk menyapu daun-daun cengkeh di kebun, banyak melibatkan kaum perempuan yang sebelumnya tak punya kegiatan atau pekerjaan. Mereka tinggal mengumpulkan dan menunggu giliran pembeli untuk mengambilnya, dan tentu saja hasilnya cukup lumayan untuk menambah penghasilan rumah tangga. Meskipun mereka bukan pemilik pohon cengkeh, mereka masih dapat menikmati cipratan rezeki dari adanya usaha penyulingan. Ini karena pemilik kebun-kebun cengkeh pada umumnya malas dan atau malu untuk mengumpulkan daun-daun dari kebunnya sendiri. Dan untuk menyiasati hal ini, biasanya pemilik penyulingan melalui pengumpul ataupun penyapu “mengontrak” satu tahun atau satu musim kebun cengkeh untuk diambil daun-daunnya yang gugur dari pemilik kebun itu. Ini juga untuk menghindari adanya tumpang tindih “kekuasaan” area kebun cengkeh dengan pengusaha penyulingan lainnya. Dampak ini semua tentu saja sangat positif, bukan saja bagi petani cengkeh, tetapi juga kepada banyak masyarakat. Kehidupan ekonomi masyarakat desa yang dulu sempat layu akibat kebijakan pemerintah dengan BPPC-nya, kini semakin semarak lagi seiring dengan pembangunan ketel-ketel penyulingan. Sekarang, banyak pilihan bagi petani untuk menghasilkan produknya. Selain bunga dan tangkai yang telah lama menjadi andalan untuk mendulang kemilau rupiah, kini daun-daunpun tak kalah kemilaunya dengan tangkai dan bunganya. Namun sangat disayangkan, dampak positif ini juga diiringi dengan keluhan beberapa pemilik ketel akibat ulah-ulah preman ataupun oknum-oknum tertentu yang kebetulan mempunyai sedikit kekuasaan yang justru membuat “tidak aman” pemilik ketel karena dimintai “jatah” yang tak jelas perhitungannya. Dalam kacamata ekonomi, hal ini tentu sangat kontra produktif karena akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Dan, kalau hal-hal seperti ini dibiarkan, jangan berharap para investor akan menanamkan modalnya di desa seperti yang diharapkan pemimpin-pemimpin kita. Oleh karena itu, model-model seperti itu harus segera diganyang dan dienyahkan. Kini sudah bukan zaman seperti zaman kerajaan yang para punggawanya atau pelayan publiknya boleh seenaknya menekan dan menakuti-nakuti rakyatnya! Akhirnya, semoga eksistensi para pengusaha di desa-desa seperti itu tetap dapat dipertahankan. Dan, daun-daun cengkeh yang sebelumnya berserakan tak ubahnya sebagai sampah, terus mendapat sentuhan dan tetap menebar aroma rupiah di desa-desa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline