Lihat ke Halaman Asli

Jumriani Jum

Mahasiswi

Banyak Tanaman Kopi Terbengkalai di Wilayah To' Kumila, Kabupaten Toraja Utara

Diperbarui: 13 Juni 2022   15:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok pribadi


         Kopi jenis Arabika/Robusta dari Kabupaten Toraja utara dan Tana Toraja ini sejak dahulu sudah terkenal hingga ke negara Lain karena mempunyai cita rasa yang khas. Karena itu kopi jenis ini merupakan tanaman unggulan lokal dari daerah Toraja untuk ekspor maupun perdagangan luar negeri.      

      Dalam perkembangannya, harga kopi yang naik turun dan permainan harga oleh tengkulak / Rentenir  membuat banyak petani mulai meninggalkan kopi. Seperti  di daerah yang lokasinya di pelosok dan kaki gunung. Belum lagi persoalan iklim yang kerap menyebabkan panen raya kopi hanya berlangsung sekali dalam tiga atau empat tahun.    

         "Lokasi panenya di gunung. Jadi, membawanya ke kota kecamatan itu sangat sulit karena kampung kami hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Nah, Jika hujan, jalan sangat licin dan berlumpur. Belum lagi jika longsor di tebing-tebing pegunungan kerja kopi jadi berat,” ujar Hasmin, petani kopi setempat.
        Dulu itu punya kopi seperti punya emas ,sekarang banyak kopi yang terbengkalai ,Bahkan, kopi mulai juga ditinggalkan. Dan Mereka kini mulai beralih menanam tanaman semusim, seperti kentang, cabai, dan aneka sayuran. Bagi sebagian petani di Toraja, masa kejayaan kopi itu sudah berlalu.
        Kata Sa’pi (77) petani kopi di wilayah To’kumila, Desa Tonga Riu, Kecamatan Sesean Suloara ,Toraja Utara. Bagi Sa’pi, masa kejayaan kopi adalah saat 40-300 liter kopi beras harganya setara dengan satu kerbau.
        Jangan heran jika dia mengukur harga kopi dengan kerbau karena kerbau diagungkan di Toraja. Bagi masyarakat Toraja, uang yang sesungguhnya adalah kerbau. ”Sekarang, 1.000 liter belum bisa dapat satu kerbau. Dulu, punya kopi seperti punya emas. Sekarang, banyak kopi terbengkalai. Sekarang, saya masih punya kebun kopi, tetapi saya tetap berjualan barang lain untuk keperluan sehari-hari,” katanya.
        Kebun kopi yang letaknya jauh dan jeleknya jalan-jalan kebun juga menjadi kendala sehingga Sa’pi dan banyak petani lain menelantarkan kebun kopi. Kalaupun banyak jalan kebun yang dibangun, itu perbaikan dari sebagian besar warga yang adakan acara seperti pesta adat, misalnya rambu solo.

Oleh : Jumriani

Mahasiswa Ekonomi Syariah iain Palopo 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline