Lihat ke Halaman Asli

Langit Menitik Tangis

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Peluh siang hari membuat rumput kecil tak lagi bertahan. Panas terik yang tak kunjung mengalah terhadap hujan membuat pepohonan menangis, menjerit, meminta setitik air. Semut-semut kecil mencari perlindungan didalam gelapnya tanah-tanah retak. Panas itu tak mampu membuat mereka bertahan. berlari mencari tempat berteduh, menghampiri rumput-rumput kecil yang menangis kehausan.

Kesedihan meliputi hati semut kecil yang mulai terduduk lemah, rumput kecil itu mati perlahan-lahan. Tidak ada air mata lagi yang bisa menetes, karena air di dalam tubuh telah mulai  mengering. Perlahan Saang semut  berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Merangkak dengan kaki-kaki yang lemah. Berusaha bertahan dalam terik yang semakin menggerogoti tubuhnya.

Sang semut menatap sekelilingnya. Pepohonan telah hilang, rumput kecil mulai mati satu persatu. Yang tersisa hanya tanah kering dan ranting-ranting yang telah rapuh.

Tiba-tiba Langit bergemuruh menggetarkan bumi. Awan mulai menghitam. Ada sedikit senyum diwajah sang semut, berharap titik hujan itu akan memberi sedikit kehidupan. Tapi kelam langit itu begitu mencekam. Gemuruh langit bersahut-sahutan.

Tiba-tiba Hempasan hujan yang begitu deras menerpa tanah, semut berusaha bertahan, tidak terbayangkan hujan yang turun begitu dahsyat. Tidak ada satu akarpun menahan airnya. Bencana yang datang, semut masih berusaha bertahan pada 1 akar yang tersisa. Tubuhnya tidak menjadi segar. Semut yang lemah itu terseret air yang begitu deras. Tidak lagi bertahan untuk hidup. Ntah kemana air, tanah dan ranting-ranting itu membawanya. Sang semut akhirnya  melepas segala kelelahannya selama ini bersama bencana yang datang. Tak lagi berdetak setiap jiwanya. tak lagi merasakan kehidupan dalam dirinya.

Tanah yang kering telah basah tertutup air hujan yang tiba-tiba menerjang. Keangkuhan sang panas telah terkalahkan oleh hujan. Pepohonan yang selalu tersenyum menyambut hujan sebesar apapun telah musnah karena tangan-tangan raksasa manusia. Semut tak lagi tersenyum bergembira di bawah tanahnya yang teduh. Rumput kecil tak lagi menari menatap dahan-dahan tinggi yang hijau dan harum.

Dan alam marah untuk semua itu. Menusia-manusia itu diterkam dalam amarah alam. Air mata tak lagi menghentikan kemarahan alam itu. Sejenak manusia - manusia kecil terpaku menatap kehancuran itu.

Saat alam mulai meredakan amarahnya, sosok kecil sebatang kara melihat pohon kecil telah tumbuh. Tangan mungilnya memberikan kasih sayang, mata jernihnya mencari warna-warna hijau yang masih tersisa. Perlahan tangan mungil itu membiarkan dirinya hidup dalam benih cinta warna hijau, memberikan kasih sayang dan cinta.

Saat tangan mungil itu memberi cinta kepada pohon-pohon kecil, alam mulai tersenyum. Telur-telur semut yang tersisa merasakan nafas kehidupan, dan mereka mulai menatap mentari yang tak lagi membawa amarah. Perlahan kasih dan cinta tangan mungil itu memberi senyum dan semangat kepada warna-warna hijau yang telah putus asa.

Saat tangan mungil itu telah menjadi dewasa, pohon-pohon mungil itupun telah menjulang kelangit dan tersenyum menatap belantara luas. Semut-semut itu telah menjadi dewasa dan menari diantara akar, daun dan batang pepohonan.

Dan Bumi Pun tersenyum, Hidup pun tak pernah berhenti. hanya dengan kasih sayang tangan-tangan penuh cinta. CInta kepada alam dan bumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline