Lihat ke Halaman Asli

Jumarni

Hanya Manusia Dhaif

Demi Tanda Tangan Imam Masjid

Diperbarui: 12 Mei 2020   23:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Rumahku tidak begitu jauh dari masjid. Sekitar 5 menit jalan kaki Alhamdulillah, sampai. Shalat di masjid menjadi kebiasaan dan menjadi kebutuhan ketika masuk pada bulan Ramadhan.

Ramadhan menjadi momentum untuk menjadi lebih baik. Salah satu caranya yaitu guru memberikan tugas kepada murid untuk  mengisi lembar evaluasi ramadhan dengan beberapa parameter penilaian. Yang cukup rumit kala itu ialah  ketika kami harus meminta tanda tangan imam saat itu (ba'da tarawih dan ba'da subuh) dan juga penceramah setelah shalat isya. Dengan menunggu lama dan juga harus menahan kantuk menjadi tantangan yang cukup sulit.
Karena harus meminta tanda tangan Seketika mereka menjadi artis tingkat desa.

Tuntutan nilai yang diiming-imingi oleh guru agama yang membuat kami tak kenal lelah untuk menanti imam masjid walaupun hingga sampai di rakaat ke 23 tarawih. Kadang aku ikut membersamai shalat hingga akhir, dan aku memilih untuk main saja di sekitar masjid.

Yang tidak terlupa saat aku memilih ikut shalat berjamaah tarawih hingga rakaat 23. Tidak terasa ditengah kekhusyukan sholat aku tertidur dalam sujud. Hingga akhirnya aku di bangunkan dalam keadaan beberapa lampu masjid sudah dimatikan. "De, de bangun, kamu mau tinggal di masjidkah." Sontak aku kaget dan berteriak. "Ga, nga mau" sambil mengusap wajah memastikan apakah ada iler atau tidak.

Dan dalam keadaan memaksa sadar, aku pulang kerumah. Tidak ada yang membangunkanku. Kata saudaraku "makanya ke masjid jangan tidur, kamu dibangunin ga bisa bangun, ya ditinggal pergi." Kan bisa di kerjakan suaranya bangunkan. "Iya, nanti pakai speaker masjid bangunkannya." Kata abangku sambil ketawa-ketawa.. "untuk ga ileran" sambungnya.

Aku kesal tapi jika mengingat hal itu aku sungguh ceroboh dan lucu jika diceritakan. Seharusnya semua orang sudah tancap gas, aku malah menikmati nikmatnya kipas angin yang ada di masjid itu.

Demi mendapatkan tanda tangan, aku rela mengorbankan istirahatku. Hanya karena soal nilai yang belum tentu guru agama periksa satu persatu apakah ttdnya valid atau tidak.

Saat itu aku sempat ingin memalsukan tanda tangan tetapi aku takut karena guru agamanya adalah bapakku sendiri. Ia, beliau ada seorang guru. Dan aku adalah muridnya. Sehingga aku tidak berani memalsukan tanda tangan pak imam. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline