Di saat perusahaan tutup, toko tutup, mendominasi sarana yang terbiasa menjadi office bagi para pekerja dan pemburu uang untuk keberlangsungan hidup, tutup untuk sekadar libur dan ada yang benar-benar di berhentikan dari pekerjaan atau Pemutusan hubungan kerja (PHK). Baik sepihak maupun berdasarkan kesepakatan bersama, ataupun mungkin pemotongan gaji karena pemilik perusahaan atau instansi tidak dapat lagi menggaji pekerja dengan kondisi yang serba sulit.
Ditempat kerja saya juga demikian. Wali murid menuntut untuk SPP dipotong karena tidak ada tatap muka dan juga karena krisis melanda. Mau tidak mau suka tidak suka, kemaslahatan terbaik berdasarkan rapat terbatas lahirlah suatu kebijakan untuk pemotongan gaji pegawai di instansi tersebut. Mungkin kasus ini tidak terjadi disini saja, bahkan diseluruh penjuru negeri, maupun dibelahan dunia.
Bukan soal gaji yang dipotong yang membuat saya merasa sulit. Justru dengan adanya kebijakan potong gaji. Membuat saya memutar otak bagaimana bisa mendapatkan uang tambahan yang halal dan baik untuk diri saya yang hidup sebatang kara diperantauan, jauh dari keluarga. Notabene dari keluarga saya adalah keluarga besar. Jika berbuka, beramai-ramai. Benar-benar merayakan kemenangan berbuka dengan membeli makanan yang sekiranya enak dan nyaman dimakan bersama, kebersamaan memang indah.
Menjelang berbuka kakak perempuan saya menelpon dengan bahasa khas perbatasannya. Menanyakan kabar dan bercerita keadaannya. Namun saya tidak banyak berkata, hanya mendengar dengan sesekali membuka media sosial saya yang lainnya. Karena sebenarnya saya tengah menyembunyikan rasa sedih yang tidak bisa saya utarakan karena tak ingin dikata kufur nikmat.
Hal yang menyayat hati saya ketika dia bercerita bahwa dia berbuka dengan brownis yang sering saya buat saat dirumah. Beli makanan, jeli kesukaan saya, kue, dan lain-lainnya yang terbiasa kami makan bersama. Ditambah lagi ketika dia bertanya "de kamu buka dengan makanan apa?" jawabku "bukan seadanya aja" karena memang tidak pernah menyiapkannya.
Bukan karena tidak bisa masak tetapi agar berhemat. Karena gajiku harus cukup untuk dua bulan kedepan. Maklum, aku sudah tidak bergantung dengan orang tua dan saudara, sejak wisuda desember lalu, saya dituntut untuk mandiri. Semacam pertanggungjawaban atas gelar yang sudah ada. Harus bisa mandiri. Sejak dulu kami dididik demikian.
Demikian pembahasan yang terus dia bahas soal makanan kesukaanku, saat dirumah seringku racik untuk dimakan bersama dengan keluarga. Kenikmatan meramu makanan, berbuka, dan kebersamaan yang hangat dengan keluarga sebagaimana aku telah tulisankan disini bahwa aku tinggal hanya diasrama yang tidak memiliki alat masak dan bahan masakan seadanya.
Semoga wabah ini segera usai, bumi segera membaik dan keadaan segera pulih bahkan menjadi lebih baik. Untuk yang sedang jauh, terjebak didaerah redzone semoga diberikan kekuatan olehNya untuk bertahan hidup. Semoga yang merindu segera bertemu, semoga yang berjarak segera mendekat. Karena jika rindu harusnya bertemu bukan malah menjauh. Tetapi ada kalanya memang harus karena dia bukan siapa-siapa dan keluargalah segala dari apa-apa.
Miss my family :*
Semoga tahun depan bisa bersama keluarga kecil ataupun besar, InsyaAllah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H