Lihat ke Halaman Asli

Jumari Haryadi Kohar

TERVERIFIKASI

Penulis, trainer, dan motivator

Kisah Empat Ekor Anak Burung Pipit

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13690902231087618552

[caption id="attachment_262578" align="aligncenter" width="400" caption="Anak Burung Pipit (Sumber :http://http://omkicau.com"][/caption]

oleh : J. Haryadi

Empat ekor anak burung pipit sedang bercanda. Ibunya sedang pergi mencari makan. Mereka tinggal diatas pohon pala yang rindang, tak jauh dari gubuk kakek petani.

Pagi itu cuaca agak berkabut. Awan terlihat semakin hitam. Angin berhembus cukup kencang. Pohon pala bergoyang ke kanan dan ke kiri, membuat keempat anak burung itu ketakutan.

Taaakuuuut…..!” teriak Riki, pipit yang paling kecil.

Aku juga takuuut,” timpal Raka, kakaknya.

Gak usah takut dik, kita saling berdekatan aja,” kata Panji, anak pipit yang kedua.

Benar ! kita saling berangkulan saja dik,” sambut Bobby, pipit yang paling besar. Kempat anak burung itu lalu saling berangkulan.

Ternyata cuaca semakin buruk. Cahaya petir membuat langit terlihat terang sekali. Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh dan ledakan yang dahsyat. Gleedaaarrrrrr ! daaar!...daaar!…..Praaak ! Cabang pohon penyangga sarang burung itu patah terkena petir. Terlihat asap mengepul dari pangkal dahannya.

Tooloong !” teriak anak-anak burung, ketika dahan pohon itu patah dan jatuh menghempas bumi. Suaca mencekam. Tidak terdengar lagi suara dari sangkar burung itu. Sementara air hujan mulai jatuh membasahi bumi.

Aduuuuh…kenapa ya ? ” kata Bobby, terbata-bata. Terlihat ke tiga adiknya terkulai lemas dihadapannya.

Banguuun dik! ….ayoooo bangun !” teriak Bobby membangunkan adiknya. Perlahan-lahan ketiga adiknya tersadar dari pingsannya. Mereka menangis dan saling berpelukan.

Laaapaaar …..aku lapar kak..huu..huu..” terdengar suara Raka menangis.

Aku juaagaaaa….” sambung Riki si bungsu sambil memegang perutnya.

Sabaaar ya dik, sebentar lagi juga mama datang membawa makanan untuk kita,” bujuk Panji pada kedua adiknya.

Ya….mama pasti datang dik !” jawab si sulung Bobby menenangkan semua adik-adiknya.

Hujan tidak kunjung reda. Semua anak burung itu menggigil kedinginan dan kelaparan. Ibu mereka belum juga datang.

Kak Bobby, aku lapar sekali ?” keluh si bungsu.

Betul kak, aku juga lapar….hu..hu..hu,” timpal Raka mengamini.

Sudahlah dik, jangan nangis terus. Kata mama, anak laki-laki harus kuat,” sela Panji.

Betul adikku, ….kita harus tabah dan sabar. Kata mama, kita harus belajar mandiri,” jawab Bobby tegar.

Ayo kita keluar dari kandang, mencari makan sendiri ..”, ajak Bobby. Hanya Panji yang bersedia ikut, sedangkan Raka dan Riki tidak mau karena takut. Lalu Bobby dan Panji berusaha melompat. Beberapa kali terjatuh, tapi mereka tetap berusaha. Akhirnya mereka berhasil keluar dan mencari makan disekitar gubuk Kake petani. Banyak sisa-sisa makanan dan butiran padi disana. Mereka memakannya sampai kenyang.

Kak, kita bawakan makanan yuk untuk adik-adik kita” kata Panji.

Ooo…iya, kakak sampai lupa. Ayo kita ambil ….” jawab Bobby. Lalu keduanya memungut lagi makanan untuk dibawa ke sarang. Mereka disambut gembira oleh kedua adiknya.

Ketika Bobby dan Panji menyuapi adik-adiknya, tiba-tiba kandang mereka tertutup bayangan hitam. Kandang mereka lalu bergoyang keras, membuat mereka semua bergelimpangan di dalam sangkar. Apa yang terjadi ? Ternyata sangkar mereka diangkat oleh Kakek petani yang baru pulang dari ladangnya.

Ohhh…..mengapa kalian ada disini?” tanya Kakek petani.

Kami kecelakaan kek, sangkar kami jatuh karena petir,” jawab Bobby mewakili adik-adiknya.

Ya kek, bantu kami agar sarang ini bisa ada diatas pohon lagi,” sambung Panji.

Ya…yaa….nanti kakek bantu. Tapi, mama kalian kemana ?” tanya kakek petani.

Mama sedang cari makan buat kami kek,” jawab Raka dan Riki serentak.

Kalian sabar aja ya, mama kalian pasti kembali,” hibur kakek petani itu.

Kakek petani lalu mengembalikan sarang burung itu ke dahan lainnya. Tak lama kemudian ibunya datang ketika hujan sudah reda. Mereka menangis gembira sambil berpelukan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline