Lihat ke Halaman Asli

Jumari Haryadi Kohar

TERVERIFIKASI

Penulis, trainer, dan motivator

Koruptor Seharusnya Belajar dari Kecoa

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1398386398215802090

[caption id="attachment_333246" align="aligncenter" width="500" caption="Kecoa, Korupsi dan Keadilan (Sumber gambar : J.Haryadi)"][/caption]

Oleh : J. Haryadi

Ketika Saya ke kamar mandi, Saya sering sekali melihat banyak kecoa yang keluar dari lubang pembuangan air kotor. Kecoa ini sering bersembunyi di seputar kamar mandi yang bersih, bahkan kadang-kadang kalau ada kesempatan, dia akan hijrah ke dalam rumah dan bersembunyi di bawah kasur atau disela-sela lemari. Sungguh menjijikkan. Beberapa kali kecoa-kecoa tersebut saya bantai dengan sadis, tetapi selalu ada lagi kecoa lain yang datang. Mereka hadir silih berganti, seakan tidak peduli dengan perbuatan saya yang sering menindas kaumnya.

Melihat fenomena ini, Saya lalu berpikir. Kecoa saja yang biasanya hidup dalam got (tempat kotor), berusaha untuk hidup ditempat yang bersih, tetapi mengapa manusia yang lahir dalam kondisi suci kok justru mau hidup dari kotoran (korupsi). Rasanya hidup ini sudah dibalik-balik, disatu sisi ada hewan yang biasa hidup ditempat kotor mau di tempat yang bersih, tetapi disisi lain banyak manusia yang kelihatannya bersih tetapi mau hidup dari kotoran.

Saya sering muak menonton berita di televisi yang mengangkat kasus korupsi. Muak bukan berarti tidak mau menontonnya, melainkan muak dengan isi beritanya. Hampir setiap saat bermunculan berbagai kasus korupsi, seperti kasus yang paling mencuat mengenai penangkapan mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin, 21 April 2014 yang lalu.

Berita tersebut tentu saja membuat kita semua tersentak. Betapa tidak, masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa penangkapan mantan ketua Mahkamah Konstistusi (MK), Akil Mochtar pada Rabu, 2 Oktober 2013 yang sangat menghebohkan. Seorang pendekar hukum, yang seharusnya memperjuangkan keadilan, tetapi justru mencoreng institusi yang dipimpinnya dengan melakukan perbuatan korupsi.

Berita Metro TV pagi ini mengangkat kasus penyuapan yang dilakukan oleh caleg Partai Gerindra, Agustina Amprawati, yang gagal karena suaranya minim. Uniknya, caleg tersebut sendiri yang  melaporkan kasus ini ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Dirinya melaporkan 13 Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kabupaten Pasuruan ke Panwaslu karena mengaku sudah ditipu oleh mereka. Agustina mengaku sudah menyerahkan uang kepada para ketua PPK masing-masing sebesar 6-25 juta rupiah sebagai kompensasi penggelembungan suara.

Kasus ini cukup menarik perhatian saya, ternyata pelaku penyuapan merasa dirinya tertipu oleh Para ketua PPK karena dirinya tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Perolehan suaranya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Tampaknya caleg ini tidak merasa kalau perbuatannya menyua PPK itu sebenarnya sudah menyakiti hati rakyat. Seharusnya dia tidak perlu melaporkan para Ketua PPK ke Panwaslu, sebaliknya para Ketua PPK itu yang  melaporkan kecurangan dirinya kepada Panwaslu. Sayangnya, baik para ketua PPK maupun caleg ini sama-sama kotornya. Seperti kata pepatah, “maling terika maling”.

Selama sifat rakus manusia untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang tidak halal, maka selama itu pula korupsi akan sulit diberantas. Penyakit moral ini sudah sangat kronis, melanda kalangan atas sampai bawah. Mulai dari para pejabat tinggi negara sampai ke rakyat jelata.

Oh negeriku, apakah sudah sedemikian parah dirimu ? Oh para koruptor, apakah dirimu tidak mau belajar dari kecoa ? Walau biasa hidup di tempat kotor tetapi mau berusaha mencari tempat yang bersih. Kenyataannya, ternyata dirimu memang tidak lebih baik dari kecoa !

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline