Lihat ke Halaman Asli

Cap Sesat Gafatar dan Dilema Kemanusiaan

Diperbarui: 26 Januari 2016   08:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="foto: devi lahendra"][/caption]

RUMAH eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dibumihanguskan di Moton Panjang, Kabupaten Menpawai, Kalimantan Barat (19/1/2016). Ratusan kepala keluarga, anak kecil, ibu-ibu, dan bayi menjerit kehilangan tempat tinggal.

Warga setempat yang memang menolak para pendatang tiba-tiba punya dalil. Gafatar yang heboh pascahilangnya dr. Rica semakin menyulut warga. Apalagi belakangan terungkap, ormas ini masih turunan ajaran sang nabi palsu Ahmad Mushadeq. Seorang terpidana penista agama 2008 lalu.

Masyarakat pun makin menjadi. Mereka mengamuk. Akhirnya ada alasan untuk merusak. Cap sesat Gafatar salah satunya. Pembakaran dan pengusiran pun menjadi boleh.

Ormas besutan Maful Muis Tumanurung ini memang tengah menyita perhatian. Para pengikutnya dinilai merusak dan melenceng dari kaedah Islam. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengendus dugaan makar dari ormas ini.

Sebagai bangsa, nasionalisme kita tentu tak memberi ruang untuk Gafatar. NKRI, Pancasila, dan UU harus berdiri tegak di bumi pertiwi. Kebebasan bersuara yang dijamin selama ini harusnya memiliki batas yang sepantasnya tak mereka langkahi.

Namun ada yang lebih mengusik dari itu semua. Dibalik sesatnya Gafatar, sisi kemanusiaan rasanya teriris. Tindakan barbar atas dasar sesat itu telah membuat kalap sebagian warga. Anak-anak dan bayi-bayi mungil tak berdosa harus menanggung akibatnya.

Gelombang pengungsi terus berdatangan. Pemerintah sibuk, polisi memperketat pengamanan. Komnas HAM pun ikut bersuara agar para perusak segera diusut.

Sudah merasa paling benarkah kita ini? Bukankah mereka saudara kita?. Jika iya, mengapa tidak mereka kita rangkul. Musuh kita adalah kedangkalan dan kesempitan berpikir yang mungkin menyeret mereka terlalu jauh.

Atas dasar apa sisi kemanusiaan kita terlangkahi. Kuasa darimana kita merasa berhak untuk menghakimi.

Jangan-jangan kitalah yang tengah tersesat jauh. Terjerembab pada pemahaman sempit agama. Tak beda jauh dengan para teroris yang selama ini kita kutuk. Padahal kita lupa, kita berada di negara beradab dengan hukum sebagai relnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline