Salam kenal Kompasianer, sudah terlalu lama rupanya penulis menjadi pembaca pasif di berbagai forum, akhirnya penulis tidak tahan juga untuk beropini lewat karya tulisan di kompasiana. Penulis sadar bahwa saya belum punya kemampuan jurnalistik sehebat para penulis lainnya, oleh sebab itu penulis akan membuat sebuah opini saja.
Prolog, PSSI vs KPSI (3-0)
Andaikan kisruh sepakbola nasional saat ini diibaratkan sebagai pertandingan sepakbola, maka PSSI saat ini sudah memimpin 3 gol dari KPSI. Uniknya, KPSI memegang bola jauh lebih banyak daripada PSSI, tetapi KPSI ternyata kurang lihai. Tidak ada satupun bola yang ditembakkan mengarah ke gawang, bahkan lebih banyak gol bunuh diri tercipta akibat visi bertanding yang salah. Gol pertama adalah surat FIFA yang menyatakan bahwa liga di luar yang diakui PSSI (dalam hal ini ISL) adalah liga ilegal. Meskipun banyak pihak dari KPSI berusaha bertahan sekuat tenaga menghadang bola ini, ternyata gol ini tidak bisa dicegah ataupun dianulir. Gol kedua terjadi akibat penolakan tegas KONI dan BOPI mengenai kasus Diego Michiels (saya tunggu sunatannya Pak Lalu Mara, nazar itu pertanggung-jawabannya ke Yang di atas), serta dilepasnya dukungan mereka terhadap KLB versi KPSI. PSSI melengkapi keunggulan mereka dengan melesatkan tendangan yang keras hasil permainan "sabar" dan "besar hati" pada menit-menit akhir, hingga terciptalah gol ketiga yang terjadi dari hasil verifikasi jumlah anggota yang menginginkan KLB yang ternyata kurang dari 2/3.
Serangan Balik KPSI
Selayaknya seorang pejuang, KPSI tidak mau tinggal diam. Beragam tektik sudah dicoba untuk menyamakan kedudukan, tetapi tidak kunjung berhasil. Alhasil cara ekstrim pun ditempuh, daripada kalah memalukan dengan skor telak, lebih baik buat kerusuhan saja hingga pihak yang berwenang menghentikan pertandingan ini dan keunggulan PSSI yang sudah ada sirna. Syukur-syukur pihak ofisial itu mau membuat pertandingan ulang dgn skor awal tentu 0-0 (semacam komite normalisasi di bawah Agum Gumelar), tapi kedua tim dinyatakan sama-sama kalah dan pertandingan dibubarkan tampaknya bukan pilihan yg buruk saat ini (pembekuan PSSI oleh FIFA). Toh sama2 tercoreng arang mukanya, tidak jelas siapa yg menang. Kami kan (KPSI) sudah kalah telak dan kemenangan tampaknya sulit dicapai dgn cara normal, daripada PSSI yg menang, mending sama-sama kalah aja.
Seperti perumpaan di atas, KPSI tampaknya sudah kehabisan akal dalam menghadapi PSSI. Beragam serangan sudah dilakukan KPSI, tetapi hasilnya malah gol bunuh diri. Seperti kehilangan akal, KPSI lantas meminta bantuan DPR (yg jelas-jelas parlemen negara, kekuatan politik) untuk ikut campur dalam kisruh sepakbola nasional. Kayaknya KPSI lupa kalau keikutsertaan DPR dalam kisruh ini dapat berakibat sanksi dari FIFA, saya pun jadi bingung ini penyelamat atau perusak sepakbola nasional? Tapi marilah kita kaji, apa sih yg mendasari KPSI melakukan hal itu? Meminta bantuan DPR, bisa saja bermaksud "mulia". Berikut sejumlah kemungkinan yang bisa terjadi apabila DPR benar2 turut campur dalam kisruh sepakbola nasional.
Skenario 1: FIFA mengulang kebijakan era revolusi kemarin
Mungkin KPSI berpikir bahwa FIFA itu sangat adil dan baik hati. Berkaca dari pengalaman sewaktu era Nurdin Halid dilengserkan, intervensi pemerintah dalam hal turut campurnya Menpora ternyata hanya disikapi dgn pembentukan komite normalisasi, dan bukan sangsi pembekuan PSSI. Hal ini mungkin mendasari mereka, kalau saja ada intervensi lagi dari pemerintahan dalam hal ini adalah dari DPR, maka FIFA akan mencap Djohar Arifin tidak pantas memimpin PSSI dan kembali membentuk komite normalisasi. Seandainya skenario ini yg terjadi, keunggulan 3-0 PSSI akan kembali menjadi 0-0. Siapa yg tadi hitam akan jadi abu-abu dan siapa yang tadi putih juga akan jadi abu-abu. KPSI akan semakin mudah dalam melangkah dan pihak penggagas revolusi akan semakin terdesak (perjuangan melawan lupa).
Skenario 2: PSSI kena sangsi pembekuan oleh FIFA
Skenario ini seperti yang ditakutkan oleh banyak pengamat sepakbola nasional. Indonesia kena sangsi pembekuan oleh FIFA dan tidak dapat mengirimkan timnasnya ke kompetisi FIFA manapun (piala dunia, piala Asia, Piala AFF). Indonesia juga tidak bisa mengirimkan klub-klubnya ke kompetisi klub Asia seperti LCA dan hanguslah slot 1 klub kita (hasil kerja keras PT LI) di LCA yg sebenarnya adalah bentuk rasa kasihan dari AFC.
Lalu apa yang selanjutnya terjadi? Nah, skenario ini bisa bercabang lagi menjadi 2.