Pertanyaan diatas akan terjawab dengan sendirinya, jika kita melihat polemik pangan yang terjadi belakangan ini. Ada banyak fakta peristiwa untuk meyakinkan bahwa Negara memang butuh lembaga yang berfungsi sebagai regulator dalam bidang pangan.
Lembaga regulator adalah lembaga yang berwenang menyusun kebijakan dan peraturan. Pemerintah mempunyai wewenang untuk membuat peraturan dan regulasi agar roda perekonomian negara bisa berjalan dengan baik.
Kasus impor beras sudah menjadi bukti kuat adanya ketidak sinkronan antar Kementerian terkait. Yang satu mengatakan tidak perlu impor karena surplus, yang satu juga mengatakan butuh impor karena harga melambung tinggi dan stock menipis. Masing-masing saling ngotot, walaupun ending ceritanya, mereka mengakui sama-sama tahu dan saling berkoordinasi.
Masalah koordinasi pangan antar lembaga selama ini menjadi batu sandungan terbesar. Seharusnya koordinasi yang lancar akan menguatkan serta mensinkronkan antara kebijakan dengan pelaksanaan. Keselarasan yang harmonis tentu akan mewujudkan ketahanan pangan di negeri ini menjadi kuat dan tangguh. Serta yang terpenting tanpa ketergantungan impor pangan dari negara lain.
Dari satu cerita diatas, masyarakat sudah dapat menyimpulkan bahwa ada suatu kepentingan kelompok yang biasa dikenal dengan istilah ego sektoral yang masih sangat kental dalam negeri ini. Mengapa? karena, ketika suatu keputusan dilakukan maka ini akan berkaitan dengan kinerja mereka.
Publik pasti bertanya-tanya, apa yang sudah dilakukan lembaga tersebut selama ini? Sungguh inilah dasar yang kuat melatar belakangi, kenapa sering kita lihat, antar instansi, lembaga atau kementerian saling ngotot dan saling tidak mau mengalah.
Untuk lebih meyakinkan akan butuhnya Negara ini lembaga pangan yang langsung bertanggung jawab dibawah Presiden, maka kita akan telisik kasus-kasus pangan besar yang belakangan ini terjadi.
Di Indonesia menurut catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) praktik kartel pangan pernah terbongkar pada (1) kesepakatan tertutup antar produsen garam dalam mengatur pasokan garam yang disuplai dari Sumatera Utara pada tahun 2005, (2) praktik kartel dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah tahun 2010, (3) kasus impor bawang merah dan putih yang menyebabkan kelangkaan tahun 2015, (4) kasus penimbunan sapi oleh feedloter yang menyebabkan harga daging sapi tembus Rp 140 ribu per kg tahun 2015, (5) kasus pemusnahan anak ayam hingga membuat harga ayam naik juga pada tahun 2015.
Diatas baru hasil penemuan KPPU yang membongkar terjadinya praktek kecurangan usaha di sector pangan. Belum lagi, cerita temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018 mengenai pelanggaran impor pangan, lalu temuan dari Ombudsman mengenai kesalahan-kesalahan administrasi dalam tata kelola pangan dan terakhir adalah hasil tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaku suap impor atau perizinan pangan.
Sembilan bahan pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak, akhir-akhir ini harganya naik dan cenderung tidak terkendali. Pemerintah seolah-olah tidak berdaya menghentikan kenaikan harga sembako mulai dari beras hingga bahan pangan kecil seperti bawang dan cabai. Instansi pemerintah yang mengurusi masalah pangan seperti mengalami "kebakaran jenggot" menghadapi fenomena kenaikan harga sembako.
Peristiwa pangan diatas sudah menunjukkan bahwa pengelolaan pangan di negeri ini masih carut-marut. Sebenarnya wakil rakyat sudah menyadarinya, maka untuk mengatasi hal itu lahirlah Undang Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 yang disahkan oleh DPR bulan Oktober 2012. Instansi pemerintah yang mengurusi masalah pangan dinilai banyak kalangan berjalan sendiri-sendiri atau individualistis. Kebijakan yang dibuat dinilai begitu banyak yang tumpang tindih dan cenderung saling tidak mendukung.