Lihat ke Halaman Asli

Julkhaidar Romadhon

Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Mengapa Harga Beras Sulit Turun?

Diperbarui: 4 Maret 2018   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.tribunnews.com

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa Presiden Jokowi menginginkan harga beras stabil menjelang lebaran. Hal ini diketahui ketika Darmin melaporkan ke istana negara perkembangan harga pangan belakangan.

Pertanyaannya sekarang? Mengapa Presiden mengeluarkan statemen seperti itu? Apakah harga beras tidak merangkak turun? Padahal  pemberitaan di sejumlah daerah mengatakan bahwa panen raya sedang berlangsung. 

Ironi memang? Apakah benar hanya pemberitaan atau panen raya yang di rayakan? Lalu bagaimana dengan data yang mengatakan surplus, apakah hanya sebagai penggembira semata? 

Dua pertanyaan di atas adalah jawaban sebenarnya, mengapa  harga beras tidak kunjung turun juga. Harga beras pertengahan Februari tetap stabil tinggi. Detik.com melaporkan harga beras premium bulan februari 2018 di penggilingan naik 0.31 persen dari Rp 10.350 menjadi Rp 10.382 per kg.

Sedangkan harga beras medium juga mengalami kenaikan 0.37 persen . Dari Rp 10.117 pada bulan Januari menjadi Rp 10.215 pada bulan Februari. 

Ada beberapa argumentasi yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena, mengapa harga beras tidak kunjung turun.

Pertama, data surplus produksi yang keliru. Data memang sampai sekarang belum menemui titik terang. Subjektivitas yang terlalu tinggi mengakibatkan bias data yang terlalu besar. Bahkan banyak pihak menyatakan biasnya ada pada kisaran 20-30 persen. 

Semua ini disebabkan karena data produksi menggunakan panca indera atau pandangan mata untuk menentukan luas panen. Sedangkan produktivitas menggunakan teknik ubinan. Jadi semuanya masih manual.

Ironinya lagi, hampir 75 persen data dihasilkan dari Kementan, pihak yang sangat berkepentingan dengan data. Sedangkan 25 persennya lagi dari BPS. Sehingga dua tahun terakhir, BPS puasa mengeluarkan data produksi. BPS juga sudah menyadari kekeliruannya, sehingga mencari cara atau teknik penyelesaian baru.

Kedua, akibat panen yang dirayakan. Hal ini merupakan imbas dari data produksi yang surplus tadi. Untuk mensinkronkan antara data diatasi kertas dengan di lapangan, maka harus dibuktikan dengan panen. Agar sangat meyakinkan maka panen tersebut harus dilakukan besar besaran dan diberitakan. 

Akibatnya sudah bisa ditebak. Panen begitu dipaksakan dan sangat simbolis saja. Padahal mungkin di daerah tersebut terserang hama atau gagal panen. Begitu pejabat sudah panen, berbagai macam persoalan pasti tertinggal. Tidak ada beras yang mengalir ke penggilingan atau pasar-pasar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline