Pemerintah telah memprogramkan ekstensifikasi pertanian pangan yang dilakukan pada lahan sub optimal (LSO) yang terlantar, tidak produktif dan marjinal. Pengelolaan agribisnis pada lahan tersebut harus menyeimbangkan antara kemandirian pangan, peningkatan taraf hidup petani dan pelestarian lingkungan yang rendah emisi. Perluasan tanaman pangan dapat merupakan momentum reformasi agraria dengan mendistribusikan lahan kepada petani kecil dengan pengelolaan sistem korporasi yang berkeadilan bagi para pihak yang ikut sebagai mitra usaha, layaknya seperti sistem pengelolaan agribisnis tanaman pangan di negara-negara maju.
Menurut data yang dimiliki Kementerian Riset dan Teknologi, Lahan sub optimal atau lahan marginal/ lahan tidak subur berpotensi untuk dioptimalkan. Secara nasional lahannya sangat luas termasuk didalamnya lahan rawa dan lahan kering. Untuk lahan rawa saja sekitar 33,4 juta hektar mulai dari Sumatera, Kalimantan, sulawesi dan daerah Papua. Dari total lahan sebanyak 58 juta hektar hanya sekitar 18 persen pertanian Indonesia yang tergolong subur dan dioptimalkan, selebihnya merupakan lahan sub optimal dengan kendala agronomis beragam. Sedangkan teknologi budidaya di Indonesia didominasi penerapan di lahan optimal (hampir 90% lahan yang dimanfaatkan lahan sawah irigasi).
Lahan sub optimal atau lahan yang tidak subur memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda, yang terdiri antara lain :
Lahan Kering
- Lahan kering dengan kemiringan 015% didominasi oleh tanah podzolik merah kuningotisol/inceptisol. Tanah ini kurang menguntungkan bagi pertanian, karena : berekasi masam, kadar UH rendah, KTK kendah, daya simpan air rendah, struktur&tekstur tanah tidak stabil sehingga mudah erosi.
- Masalah yang dihadapi pada lahan kering, yaitu ketersediaan air, kondisi lahan, keterbatasan teknis petani, sarana prasarana, kelembagaan pemerintah terbatas, teknologi pertanian belum berkembang dan lain-lain.
Lahan rawa pasang surut
- Kendala pada lahan basah; pH tanah masam keracunan Fe dan Al, lapisan gambut yang tebal dan belum matang.
- Produktivitas tanaman rendah, resiko kegagalan tinggi, tingkat keberlanjutan rendah, tingginya input pupuk kimia dan pestisida, diversitas organisme dan musuh alami serta ketahanan ekosistem lemah.
Diperlukan perubahan paradigma sistem usaha tani yaitu dari paradigma green revolusion ke paradigma evergreen revolution yang pada akhirnya menghasilkan sistem pertanian terpadu (SPT). Green revolution dimana identik dengan pertanian modern yang bercirikan antara lain; orientasinya masih ke produksi (komoditi), tanamannya monokultur, tergantung pada pupuk dan pestisida sintetis, diversitas ekosistem rendah, knservasi rendah, bertumpu pada pemodal dan padat modal (capital intensive).
Sedangkan paradigma evergreen revolution identik dengan pertanian ramah lngkungan yang bercirikan antara lain; intergrasi sumber daya yang ada, tanamannya sudah polikultur, pemakaian input luar yang rendah, diversitas ekosistem tinggi, kesetaran (keseimbangan sosial) dan padat tenaga kerja (labor intensive). Konsep pertanian evergreen revolution inilah yang akhirnya melahirkan konsep sistem pertanian terpadu.
Hasil nyata dari konsep sistem pertanian terpadu ini yaitu apa yang sudah diterapkan di sumatera selatan dengan proyeknya Agro Tekno Park (ATP), Petani disana mendapatkan keuntungan 2-5 juta/ha, nilai R/C ratio 1,65. Selama 6 tahun penerapan SPT, produksi jagung meningkat dari 2,1 ton/ha pada tahun ke I menjadi 5,18 ton/ha tahun ke IV dan 5,79 ton/ha pada tahun ke V. Kesuburan tanah, kandungan C-Organik, C/N rasio, hara P dan Ca, sementara kandungan hara N dan K tidak mengalami perubahan.
Daerah lainnya yang menerapkan konsep ini terlihat di daerah pasang surut di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, yang menerapkan sistem pertanian terpadu padi-kedelai-sayur-sayuran dimana produksinya meningkat seperti kedelai 0,45t/ha (13,3%), padi 1,2 t/ha (44,4%), jagung sebesar 1,1 t/ha (26,2%%), kacang panjang sebesar 0,75 t/ha (15%), dan ternak sebesar 37 kg per siklus pemeliharaan.
Begitu juga dengan desa Sangiang, kec Banjaran, Majalengka Jawa Barat yang mana pendapatan petani meningkat hingga 40%, efisiensi penggunaan hijauan makanan ternak 4-5 kali lipat. Dalam waktu 4 bulan, tiap 5 sapi potong menghasilkan 6,6 ton kotoran sapi yang dapat menghasilkan 2,6 ton pupuk kompos kandang matang, yang mampu memenuhi pupuk organik bagi 1 hektar lahan jagung. Desa Suabak Guama, Marga Tabanan Bali juga menerapkan konsep serupa dan menunjukkan hasil peningkatan yang serupa.