Lihat ke Halaman Asli

Julkhaidar Romadhon

Kandidat Doktor Pertanian UNSRI

Miris, Cara Berpikir Mengenai Pangan (Bagian 1)

Diperbarui: 26 Agustus 2017   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedih dan miris rasanya ketika mendengar pernyataan Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos, Andi Dulung mengenai bantuan pangan non tunai (BPNT) saat lokakarya "Pemanfaatan Teknologi untuk bantuan sosial" di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (24/8/2017).

Logika berpikir yang sangat sederhana, terlalu simple, sangat jauh dari kata komprehensif. Seperti terlihat kurang memahami persoalan pangan secara menyeluruh. Jauh panggang dari api, kalau kita mengharapkan untuk berpikir sampai dikaitkan dengan konsep swasembada pangan. Mulai dari pembelian gabah beras petani, stabilisasi harga ditingkat petani, stabilisasi ditingkat konsumen hingga pemupukan stock beras nasional. Itulah potretnya.

Tulisan ini tidak berupaya untuk menyudutkan satu pihak, namun mencoba memberikan pemahaman menyeluruh untuk lebih melihat persoalan secara utuh. Sebenarnya sudah banyak tulisan para pakar yang membedah masalah ini. Saya pun sudah bosan untuk membahas masalah BPNT berkali-kali. Termasuk juga yang membaca tulisan-tulisan saya. Tapi tidak mengapa, akan saya ulangi demi kebaikan dan kepentingan bangsa tercinta.

Saya coba rangkum satu persatu pernyataannya, namun jika terlalu panjang akan disambung pada bagian dua. Biar pembaca tidak jenuh dan sedikit mudah untuk dipahami.

Pernyataan pertama, "kelemahan dari bantuan lewat kartu ini yakni pemerintah tidak mengontrol harga pangan yang dijual oleh e-warong". Peryataan ini semakin membuat saya bertanya-tanya, kalau sudah tahu tidak dapat mengontrol harga terus kenapa tetap dipaksakan. Apakah memang benar-benar tidak tahu pentingnya stabilisasi harga...? atau apakah sudah tahu terus menganggap enteng ?

Baik, saya bantu jelaskan lagi disini. Stabilisasi harga sangat dibutuhkan negeri ini dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya. Beras merupakan makanan pokok yang sangat powerfull dan sudah menjadi rahasia umum sebagai lokomotif kenaikan harga pangan lainnya. Kita harus ingat dan harus sadar bahwa beras merupakan golongan bahan makanan yang sangat besar menyumbang inflasi. Ingatkah krisis 1998, gara-gara inflasi super tinggi, harga pangan meroket, 10 juta orang kehilangan pekerjaan hingga memicu kerusuhan sosial berupa penjarahan dimana-mana. Selain itu jangan kita lupakan juga peristiwa tritura tahun 1966, serta runtuhnya Uni Sovyet karena langkanya pangan yang memicu tingginya harga.

Pertanyaannya sekarang, jika harga sudah terlanjur meroket bagaimana..? apa yang dapat dilakukan pemerintah untuk meredamnya.. ? disisi yang lain pemerintah sudah menghapuskan rastra.. ?

Oleh karena itulah, agar tidak bingung saya jelaskan lagi pentingnya rastra dibandingkan BPNT. Program raskin/rastra dan operasi pasar merupakan senjata utama andalan pemerintah untuk menstabilkan harga beras di pasaran. Dengan hilangnya senjata utama rastra sebagai penstabil harga, dapat dipastikan harga menjadi tidak akan terkontrol. 

Hilangnya rastra menyebabkan tidak adanya lagi outlet penyaluran bagi pembelian beras petani dalam negeri. BULOG sudah pasti mengurangi pembelian, karena biaya perawatan besar dan kerugian negara sudah ada di depan mata. Dengan sedikitnya jumlah gabah/beras yang diserap, ini berarti stok beras yang dikuasai oleh BULOG akan sedikit. Stok yang kecil akan membuat langkah BULOG dalam hal menstabilkan harga tidak akan menjadi leluasa.

raskin-12-59a1369ff121d431a95c3102.jpg

Pernyataan kedua "itu kelemahannya (BPNT), jadi harga beras misalnya, itu terserah dari agen. Pokoknya satu bulan penerima dapat Rp 110.000, dia bisa beli beras harga berapapun. Kalau dia mau beli yang lebih mahal juga silahkan. Karena dengan kartu itu, warga miskin bisa membeli beras yang lebih mahal dan kualitasnya lebih bagus dari beras standar Bulog untuk rastra". Kecenderungannya, malah orang lebih suka beli beras yang kualitasnya lebih bagus, harganya lebih mahal tak masalah. Mau beras Rp. 8.000/kg tak masalah, Rp 10.000/kg tak masalah".

Pernyataan kedua ini, semakin aneh lagi. Sudah jelas-jelas tahu kelemahannya, namun masih tetap ngotot melaksanakan BPNT. Inilah yang selalu ditakutkan para pengamat kebijakan pangan yaitu "mekanisme pasar" atau "liberalisasi pasar". Ditengah maraknya kasus mafia pangan yang diungkap oleh satgas pangan, seharusnya membuat pemerintah semakin yakin bahwa BPNT belum layak untuk diterapkan tahun depan. Pernyataan KPPU yang mengatakan bahwa struktur pasar beras di tingkat petani cenderung kompetitif, sedangkan ditingkat konsumen cenderung oligopoli menjurus kartelisasi seharusnya juga dijadikan pegangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline