Beberapa waktu lalu kita melihat, mendengar dan membaca berita di berbagai social media tentang badai siklon tropis, gelombang laut yang tinggi, banjir dan longsor yang terjadi di Maluku. Tentunya, kita semua turut prihatin karena masalah-masalah ini memberikan kerugian yang sangat besar bagi anak cucu ras Melanesia di Maluku saat ini.
Penekanan ras Melanesia di sini tidak bermaksud untuk mengabaikan mereka kaum pendatang yang mengalami kerugian bahkan mungkin juga korban jiwa di Maluku.
Tulisan ini ingin mengulas tentang kritik Theodor W. Ardono dan Max Horkheimer terhadap modernitas dan sejauh mana kritik itu memengaruhi kemampuan adaptasi lingkungan (baca: menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam) anak cucu ras Melanesia di Maluku. Mengingat leluhur Melanesia yang mendiami Maluku memiliki pengetahuan yang luar biasa tentang cara kerja alam semesta.
Buku Dialectic of Enlightenment terbitan tahun 1944 karya kedua pemikir Jerman yang merupakan salah satu masterpiece dalam disiplin ilmu sosial dapat dijadikan acuan berpikir untuk menjelaskan ulasan itu. Mengapa? karena karya ini memuat kritik terhadap modernitas.
Salah satu kritik yang disampaikan kedua pemikir ini tentang hubungan manusia dengan alam -- yang memiliki kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Sama dengan kondisi Maluku saat ini yang sedang mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dua point penting dalam karya itu adalah rasio instrumental (instrumentelle vernunft) dan pemisahan (distance) antara manusia dengan alam. Menurut kedua pemikir di atas, pendekatan instrumentelle vernunft dan distance antara manusia dengan alam yang dikembangkan melalui ilmu-ilmu positif (terutama ilmu alam dan teknologi modern) menjadi penyebab utama munculnya krisis ekologis.
Manusia memandang alam sebagai sesuatu yang asing. Alam pun diselidiki, dimanipulasi, dikendalikan dan diekploitasi secara masif untuk meningkatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya - sebagaimana semangat gerakan modernisasi.
Gerakan modernisasi yang dimulai sejak revolusi industri lebih dari dua abad lampau pelan-pelan telah mengubah cara hidup banyak masyarakat nelayan - agraris tradisional di berbagai belahan dunia menjadi masyarakat industri.
Perubahan cara hidup dengan menempatkan manusia sebagai penguasa atas alam yang pada awalnya terlihat baik dan teratur -- tinggal mengikuti prosedur dan sistem yang sudah dibuat ternyata membuat bumi kehilangan hutan dengan beberapa spesies, terjadinya pencemaran lingkungan di laut, darat, udara serta persoalan lainnya pasca revolusi industri.
Terkait dengan krisis ekologis, para saintis modern pun memberikan tanggapan. Katanya, pembakaran dari hasil fosil untuk memenuhi kebutuhan industri dan penyusutan hutan mempercepat terjadi perubahan iklim dan pemanasan global.