Lihat ke Halaman Asli

Refleksi Kebudayaan Tanpa Aksara Ras Melanesia di Maluku Menyambut HUT RI Ke 74 dan HUT Kota Ambon 444

Diperbarui: 17 Agustus 2019   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 17 Agustus kita merayakan HUT Republik Indonesia ke 74 tahun sedangkan tanggal 7 September nanti kota Ambon memasuki usianya yang ke 444 tahun. Alangkah baiknya dua momen penting ini dibarengi dengan refleksi terhadap perkembangan kebudayaan di bumi raja-raja beberapa dekade lalu pasca kemerdekaan. Ini penting dilakukan untuk mengevaluasi masa lalu sehingga kita akan semakin lebih baik membangun kota Ambon dan Maluku dalam menggapai cita-cita kemerdekaan.

Bila menengok perkembangan kebudayaan di kota Ambon dan sekitarnya beberapa dekade lalu pasca kemerdekaan kita akan menemukan fenomena budaya pada waktu itu. Masuknya pengaruh modernisasi pasca kemerdekaan selain mengubah cara hidup masyarakat tradisional ke masyarakat industri juga memunculkan sikap diskriminatif dan penolakan terhadap kebudayaan ras Melanesia di Maluku.

Bagi sebagian besar dari kita yang tinggal di kota Ambon dan sekitarnya pada waktu itu mungkin pernah mendengar atau melontarkan kalimat : ale su kayak suku Alifuru saja atau A tabrak dalam muka kamorang seng tahu, dasar manusia tinggal di belakang tanah. Penggunaan kata suku Alifuru dan belakang tanah merupakan sindiran halus untuk mereka yang tinggal jauh dari perkotaan - menetap di pelosok daerah terpencil atau pedalaman. Karena tinggal di wilayah seperti itu maka mereka dianggap tidak berpendidikan atau memiliki pola pikir yang belum maju.

Salah satu penyebab dilontarkannya pandangan setreotip seperti itu karena kebudayaan Alifuru maupun mereka yang dikatakan tinggal belakang tanah belum mengenal tulis baca dengan aksara sebagaimana yang diajarkan dalam pendidikan modern.

Pengertian aksara  di sini mengacu dan hanya terbatas pada  tiga jenis aksara yaitu : huruf (A - Z), angka (1, 2, 3 dst) dan aksara khusus (/ ' # ^ @ = +,  dll). Mengacu dan hanya dibatasi pada kebudayaan tulis baca dengan aksara ini karena pada waktu itu dianggap lebih maju dalam pendidikan modern.

Di sisi lain, penemuan teknologi dan kemajuan sains modern seperti kilauan berlian yang sangat menakjubkan pada waktu itu. Keterpesonaan pada perkembangan teknologi dan sains modern di kota Ambon dan sekitarnya beberapa dekade lalu pasca kemerdekaan lambat laun mengakibatkan terjadinya penolakan terhadap unsur-unsur kebudayaan ras Melanesia yang terdapat dalam mitos, tradisi lisan, ritual adat, takhayul dan lain sebagainya. Salah satu penyebab terjadinya penolakan itu karena dianggap tidak rasional atau tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dalam pendidikan modern.

Karena faktor-faktor itulah maka kebanyakan dari kita yang sedang dan telah mengenyam pendidikan modern berpikir penting untuk melakukan gerakan pemberantasan buta aksara. Tujuannya, agar ras Melanesia di Maluku keluar dari kehidupan primitif, terbelakang, kolot, terasing dan liar.

Dilontarkannya pandangan stereotip oleh sebagian dari kita dan pihak asing, terjadinya penolakan serta dilakukan gerakan pemberantasan buta aksara merupakan fenomena budaya yang terjadi pada waktu itu.  

Apakah fenomena budaya yang memunculkan sikap seperti itu memang benar demikian, sehingga bisa dibenarkan gerakan pemberantasan buta aksara yang bertujuan untuk membawa ras Melanesia di Maluku keluar dari kehidupan primitif, terbelakang, kolot, terasing dan liar -- karena memiliki pola pikir yang belum maju, ataukah hal itu justru tidak benar ?

Marilah kita sejenak merefleksikan kembali fenomena budaya yang memunculkan sikap itu dengan berpijak pada perkembangan kebudayaan-kebudayaan besar lainnya di dunia.

Kebudayaan Tanpa Aksara

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline