Pemanasan global (global warming) menjadi isu global, karena tidak hanya terjadi di Indonesia saja melainkan hampir seluruh belahan dunia. Pemanasan global (global warming) merupakan suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem sebagai akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan bumi meningkat ±0.74 sampai ± 0.18 °C selama seratus tahun terakhir.
Pemanasan global (global warming) ini disebabkan oleh meningkatnya kandungan Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai salah satu efek dari penggunaan batu bara yang sangat besar, salah satunya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Pembakaran batu bara melepaskan gas rumah kaca yang memerangkap panas seperti karbon dioksida (CO2) yang mana lebih dari 75% komposisi gas rumah kaca di atmosfer adalah CO2.
Berdasarkan data Global Energy Monitor, pada tahun 2022 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di seluruh dunia memproduksi emisi karbon dioksida (CO2) sekitar 9,88 miliar ton. Angka tersebut tidak termasuk emisi PLTU yang masih dalam tahap konstruksi. Emisi gas rumah kaca di Indonesia terutama gas CO2 terus meningkat sepanjang tahun, dengan gas buangan PLTU batu bara sebagai salah satu kontribusi utama emisi gas tersebut. Berdasarkan data statistik Kementerian Energi dan Sumber Daya Nasional tahun 2022, pasokan energi primer Indonesia sebesar 87,7 % berasal dari bahan bakar fosil yaitu batubara, minyak bumi dan gas alam. Pada tahun 2021, Indonesia menghasilkan emisi gas karbon dioksida (CO2) sebanyak 619,28 juta ton atau sekitar 2,26 ton per kapita.
Emisi karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu reaksi kimia, dimana terjadi pelepasan gas karbon dioksida (CO2) ke atmosfer. Emisi karbon dioksida (CO2) merupakan hasil dari pembakaran bahan bakar yang mengandung karbon. Pada proses emisi karbon dioksida (CO2) terjadi reaksi oksidasi karbon menjadi karbon dioksida. Reaksi ini terjadi ketika bahan bakar seperti batu bara, dibakar dengan adanya oksigen, sehingga menghasilkan panas dan karbon dioksida (CO2) sebagai produk pembakaran. Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu baru, akan melibatkan banyak senyawa karbon, sehingga dapat digambarkan dalam reaksi umum yang kompleks dengan hasil akhir gas karbon dioksida dan air. Semakin banyak jumlah batu bara yang digunakan akan semakin banyak karbon (C) yang dioksidasi menjadi karbon dioksida (CO2). berikut ini reaksi umum emisi gas karbon dioksida (CO2) sebagai efek dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara yang dimanfaatkan oleh PLTU:
CxHy (s) + O2 (g) → CO2 (g) + H2O (l)
Apakah emisi Karbon dioksida berbahaya ?
Emisi gas karbon dioksida (CO2) dari proses pembakaran batu bara yang dimanfaatkan PLTU, memiliki berbagai dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang terkait dengan emisi CO2:
Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang paling umum dihasilkan oleh aktivitas manusia (anthropogenic activities). Gas ini menyerap dan memerangkap radiasi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan bumi, sehingga menimbulkan efek rumah kaca. Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer menjadi pemicu pemanasan global (global warming), yang menyebabkan perubahan iklim seperti peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca, kenaikan permukaan laut, dan perubahan ekosistem.Dampak pada Ekosistem
Pemanasan global akibat emisi karbon dioksida (CO2) dapat berdampak pada ekosistem di seluruh dunia. Perubahan suhu dan pola curah hujan dapat mengganggu habitat satwa liar, mempengaruhi siklus pertumbuhan tanaman, dan menyebabkan kepunahan spesies. Kenaikan suhu juga dapat menyebabkan kerusakan pada ekosistem sensitif seperti terumbu karang dan tundra Arktik.
3. Dampak Sosial dan Ekonomi
Perubahan iklim akibat emisi CO2 dapat berdampak pada ketahanan pangan dan air, serta menyebabkan bencana alam. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat, menyebabkan kerugian ekonomi, dan mengganggu stabilitas sosial.
4. Dampak Negatif Terhadap Kesehatan Manusia
Meskipun CO2 dalam konsentrasi normal di udara tidak berbahaya bagi kesehatan manusia, konsentrasi yang tinggi atau kondisi khusus dapat menimbulkan risiko kesehatan. Karbon dioksida (CO2) berkontribusi pada peningkatan polusi udara ketika dihasilkan dalam jumlah besar dari pembakaran batu bara atau sumber lainnya. Polusi udara ini sering kali disertai dengan emisi gas berbahaya lain seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan partikulat halus yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, asma, bronkitis, dan masalah paru-paru lainnya. Selain itu, karbon dioksida (CO2) dalam konsentrasi tinggi dapat mempengaruhi sistem saraf, menyebabkan gejala neurologis seperti pusing, kebingungan, atau kesadaran yang berubah.
Lalu bagaimana mengatasi hal tersebut ?
Zaky, dkk (2024) dalam penelitian menyebutkan bahwa untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) sebagai efek dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara pada PLTU, dilakukan reduksi emisi CO2 yang dihasilkan dengan metode Power-to-Gas (PtG), dimana emisi karbon dioksida (CO2) dapat diubah menjadi energi yang terdiri dari proses carbon capture (penangkapan karbon), elektrolisis dan metanasi. selain itu, untuk mengatasi hal tersebut juga, kita dapat menggunakan energi terbarukan untuk memproduksi listrik.
Selain itu, untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) yang disebabkan oleh PLTU batubara ini juga bisa ditangani menggunakan sebuah teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Dimana CCS direkomendasikan oleh UNFCCC sebagai salah satu bentuk teknologi untuk mengatasi prncemaran udara akibat CO2 sejak tahun 2006. Hal tersebut karena teknologi CCS dapat menangkap hingga 90% emisi CO2 dari pembangkit listrik seperti PLTU batu bara atau fasilitas industri lainnya yang memungkinkan terjadi emisi CO2.
Menurut Hanif dan Dian (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu teknologi penyerapan karbon dioksida (CO2) yang menjanjikan adalah teknologi biologis menggunakan kultur mikroalga sehingga tercipta sistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Mikroalga merupakan tumbuhan mikroskopis yang memiliki sel tunggal dan dapat menyerap CO2, sehingga dapat menurunkan kadar CO2 di udara salah. Salah satu jenis mikroalga yang dapat digunakan untuk menyerap CO2 yaitu Chlorella sp, karena kemampuannya yang dapat memfiksasi Co2 serta memiliki pertumbuhan yang cepat untuk memproduksi biomasa.
Referensi :
D. Labiba and W. Pradoto, “Sebaran Emisis CO2 dan Implifikasinya Terhadap Penataan Ruang Area Industri di Kabupaten Kendal,” Jurnal Pengembangan Kota, vol. 6, no. 2, p. 164, Dec. 2018, doi: 10.14710/jpk.6.2.164-173.
C. A. Kaparang, I. R. Mangangka, and H. Riogilang, “Penanganan Emisi CO2 Dari Berbagai Jenis Kendaraan Bermotor Di Desa Tumpaan,” Tekno, vol. 21, no. 85, Accessed: Apr. 29, 2024. [Online]. Available: https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/tekno
F. Setyawan, M. M. Aldi, and A. Talkah, “Pengaruh Pupuk Organik dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai,” Agrotechnology Research Journal, vol. 5, no. 1, p. 44, Jun. 2021, doi: 10.20961/agrotechresj.v5i1.44300.
R. Fikri Muhammad Zaky and D. Agustina Sari, “Upaya Pereduksian Emisi Karbon Dioksida (CO2) di Indonesia melalui Analisis Integrasi Power-to-Gas dengan PLTU Batubara,” vol. 5, no. 2, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H