Ketika membaca berita tentang pemerkosaan dan kekerasan yang dialami oleh siswi SMP penjual balon (medan.tribunnews.com), saya hanya bisa termenung dan bertanya-tanya apakah begitu rusak moral bangsa kita ? Apa yang pelaku pikirkan ketika melakukan aksi biadapnya terhadap anak yang masih di bawah umur? Bagaimana perasan kedua orang tua korban yang mengalami musibah seperti itu? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang mungkin sama dengan semua orang pertanyakan.
Kasus kekerasan seksual, khususnya yang melibatkan anak-anak dan remaja, tidak hanya menggambarkan tragedi moral, tetapi juga mencerminkan krisis **intersubjektivitas** dalam kehidupan sosial kita. Kekerasan seksual, dalam perspektif filsafat, dapat dipahami sebagai bentuk penolakan terhadap eksistensi orang lain sebagai subjek yang merdeka dan setara. Dalam tindakan kekerasan seksual, pelaku tidak hanya melakukan kejahatan fisik tetapi juga meremehkan prinsip dasar pengakuan eksistensi orang lain sebagai individu yang memiliki hak dan martabat yang tidak tergantikan.
Intersubjektivitas adalah konsep yang menekankan hubungan antara dua subjek yang saling mengakui eksistensi masing-masing sebagai entitas yang otonom dan memiliki nilai intrinsik. Dalam tradisi fenomenologi, seperti yang dipelopori oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh Emmanuel Levinas, hubungan ini dianggap sebagai fondasi dari kehidupan sosial yang sehat. Melalui interaksi ini, individu tidak hanya mengenal dirinya sendiri tetapi juga menghormati dan mengakui hak-hak orang lain.
Namun, kekerasan seksual menggambarkan pengabaian prinsip dasar ini. Dalam tindakan kekerasan seksual, pelaku melihat korban bukan sebagai subjek yang merdeka tetapi sebagai objek yang dapat digunakan untuk kepuasan pribadi. Pelaku memosisikan dirinya sebagai pusat dari dunia, sedangkan korban diperlakukan semata-mata sebagai alat untuk memenuhi keinginan pelaku. Ini merupakan bentuk ekstrem dari reduksi objektifitas, di mana pelaku mengabaikan martabat dan hak korban sebagai individu.
Ketika pelaku kekerasan seksual mengabaikan hak dan martabat korban, mereka mengingkari prinsip dasar intersubjektivitas. Dalam hal ini, pelaku gagal untuk melihat korban sebagai entitas yang memiliki otonomi moral dan hak-hak yang tidak dapat diabaikan. Jean-Paul Sartre, dalam teori tentang "the Look" (tatapan), menunjukkan bahwa ketika seseorang memandang orang lain dengan niat dominasi, mereka mengubah orang tersebut menjadi objek. Ini adalah bentuk agresi yang mengancam kebebasan dan hak orang lain (Thomas Hidya Tjaya 2012).
Di dalam kekerasan seksual, pengingkaran ini bukan hanya menyebabkan penderitaan fisik tetapi juga psikologis bagi korban. Korban tidak hanya mengalami trauma fisik tetapi juga kehilangan rasa martabat dan otonomi mereka. Ini adalah bentuk penolakan mendalam terhadap kemanusiaan mereka, di mana mereka tidak lagi dianggap sebagai individu yang berhak dihormati dan dilindungi (Kusumaningrum 2019).
Di dalam era digital saat ini, fenomena cyberporn pornografi yang diakses melalui internet memperburuk krisis intersubjektivitas ini. Internet, yang seharusnya membuka akses untuk pengetahuan dan komunikasi, juga menyediakan akses yang tidak terbatas kepada berbagai konten pornografi. Bagi anak-anak dan remaja, akses ini bisa menjadi sangat berbahaya.
Studi menunjukkan bahwa anak-anak berusia 14-15 tahun merupakan kelompok yang paling rentan terhadap penyalahgunaan internet, termasuk akses ke konten pornografi. Konten ini sering kali mengobjektifikasi tubuh manusia dan menghapus aspek kemanusiaan dari interaksi seksual.
Kecanduan cyberporn dapat memperparah krisis intersubjektivitas dengan meningkatkan kemungkinan pelaku untuk melihat orang lain sebagai objek seksual semata (www.jawapos.com). Ketika anak-anak atau remaja terpapar konten yang mengobjektifikasi manusia, mereka mungkin menginternalisasi pandangan tersebut dan melihat orang lain hanya sebagai objek kepuasan, bukan sebagai individu yang memiliki martabat dan hak yang harus dihormati.
Untuk mengatasi kekerasan seksual dan dampak buruk dari cyberporn, kita perlu membangun kembali budaya intersubjektivitas yang menghormati nilai dan hak setiap individu. Orang tua memiliki peran penting dalam mengawasi dan mendampingi anak-anak mereka dalam menggunakan internet. Pendidikan yang menekankan pentingnya saling pengakuan dan penghormatan terhadap otonomi orang lain harus menjadi landasan dalam membangun masyarakat yang adil dan empatik.
Pendidikan ini harus mencakup pemahaman tentang bagaimana perilaku seksual yang sehat berakar pada penghargaan terhadap hak-hak dan martabat orang lain. Melalui pendekatan etis yang menekankan tanggung jawab moral terhadap sesama, kita dapat mencegah anak-anak dari terjerumus ke dalam perilaku menyimpang dan kekerasan seksual. Masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan melindungi anak-anak dari pengaruh buruk yang dapat merusak perkembangan intersubjektivitas mereka.