Selama pemilu dan masa kampanye, negara kita tercinta terbagi ke dalam berbagai kelompok pendukung capres dari 01-03. Ada yang berteriak dengan lantang, "Amin aja dulu," ada yang "ok gas-ok gas nomor 2 torang gas," dan ada yang "Sat-Set." Entah itu masyarakat biasa, pemangku kekuasaan, maupun petinggi agama. Semuanya larut dalam demam dan mimpi akan pemimpin yang didambakan. Seakan semuanya sepakat untuk bersama berhenti sejenak memikirkan permasalahan-permasalahan krusial yang sedang terjadi di negara kita tercinta. Namun, ketika pemilu telah usai, dan setelah semua orang mulai kembali kepada rutinitas masing-masing, masih saja ada mereka yang termulia dan terhormat, pemangku kekuasaan, dan petinggi agama yang masih saja belum bangun dari dunia mimpi menuju realita.
Narasi-narasi seperti "demokrasi mati," "demokras" atau "democrazy," mereka jual kepada mahasiswa-mahasiswa yang kurang literasi demi memenuhi keinginan mereka untuk membatalkan apa yang telah terjadi. Anehnya, mahasiswa yang seharusnya kritis mempertanyakan dengan seksama bagaimana demokrasi itu mati? Apa penyebabnya? Dan apa solusinya? Malah sibuk membakar ban di jalan untuk mengusir nyamuk. Agaknya mereka telah terbuai oleh narasi candu dari petinggi agama dan obat gosok dari para pemangku kekuasaan yang gila jabatan. Memang tidak semua seperti itu, namun sebagian besar dari mereka yang terhormat memiliki penyakit yang sama, yakni gila kekuasaan.
Mungkin memang benar apa yang Soekarno katakan, perjuangannya tidak lebih berat karena melawan penjajah. Dan perjuangan kita yang lebih berat karena melawan bangsa kita sendiri. Sedikit berpaling kepada filosof Yunani kuno, mungkin ada benarnya yang Aristoteles katakan tentang keburukan-keburukan Demokrasi. Jadi, untuk itu saya tidak terlalu berharap lebih kepada demokrasi.
Akan tetapi kepada yang terhormat, pemangku kekuasaan, dan petinggi agama, saya sangat berharap. Mereka lebih mengajarkan dan memberikan edukasi yang mengarah kepada toleransi dan literasi yang menjunjung persatuan. Bukan malah memprovokasi rakyat, terutama adik-adik yang baru saja menginjak umur dewasa dan masih euforia dengan statusnya sebagai mahasiswa.
Negara ini dapat hancur karena anarkisme yang sering kali dilakukan oleh mereka tanpa pikir panjang. Jadi, sekali lagi dari saya orang biasa dari daerah yang sering terjebak di dalam pusaran dilemma pertarungan antar generasi. Saya menyampaikan salam kepada yang terhormat sekalian dan pengertian dari bilik kontemplasi dan refleksi, supaya para pemangku jabatan dan petinggi agama untuk introspeksi diri dan refleksi, karena banyak sekali rakyat yang masih menderita di sana sini.
Hentikanlah narasi perang opini membela paslon-paslon yang kalian dukung, terima saja keputusan yang ada. Bukan malah sibuk membahas permasalahan yang tidak seberapa. Ada hal yang lebih penting daripada hanya membahas permasalahan yang mungkin ada baiknya dibiarkan saja. Masalah yang paling penting adalah kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan. Jika anda membaca risalah ini, hanya ada dua kemungkinan, anda merenung atau anda tersinggung. Baguslah jika merenung dan tepatlah jika anda tersinggung.
Selain itu, kepada sesama rekan mahasiswa yang tercinta, di manapun kalian berada, sudahi terjebak dalam tipu daya, dan berhentilah menjadi tunggangan politik dari mereka yang serakah. Tidak ada salahnya peduli, namun rasa peduli tanpa nalar kritis hanya akan menjadi pisau bermata dua yang dapat melukai kalian sendiri. Perbanyak literasi, diskusi, kemudian refleksikan bahwa apa yang kalian lakukan sudah tepat atau malah menyengsarakan rakyat.
Beberapa kali saya perhatikan demo-demo yang dilakukan bukannya diidukung rakyat, malah menganggu aktivitas rakyat yang ingin bekerja. Ironi bukan, kalian ingin membela tetapi malah dibubarkan oleh rakyat yang ingin kalian bela. Dari sini saja sudah terlihat bahwa ada yang salah dari cara yang kalian lakukan. Untuk itu, mari introspeksi dan tinjau kembali supaya dapat menjadi lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H