Kehidupan warga negara Indonesia tidak terlepas dari budaya dan cara berpikir supranatural. Kebanyakan para orang tua di masyarakat Indonesia menjawab semua persoalan yang berkaitan dengan alam semesta dengan jawaban yang berbau mistis.
Hal ini memang tidak salah namun penjelasan dengan menggunakan logika mistika seperti yang dikatakan Tan malaka, hanya membuat generasi muda menjadi orang-orang yang memiliki daya pikir yang lemah dan kurang kritis.
Logika mistika memang memiliki massa dan penggemarnya sendiri namun terkadang penganut pemikiran ini seringkali memaksakan logikanya untuk diterima oleh orang lain. Bahkan terkadang mereka terkesan "memaksa" pemikirannya untuk dijadikan solusi dari permasalahan yang ada.
Keadaan ini tentu mengingatkan kita pada agloritma gua yang digunakan plato untuk menjelaskan perbedaan antara dunia ide dan dunia indrawi.
Kehidupan warga negara kita juga sama halnya dengan manusia-manusia yang masih berada di dalam gua dan hanya melihat bayangan tetapi mengaku sudah menemukan kebenaran. Bahkan mereka rela membunuh orang yang sesungguhnya telah menemukan kebenaran sejati dengan dalih melanggar tradisi.
Sikap seperti ini memang cukup subur bahkan sengaja di pelihara di Indonesia. Salah satu contoh dari sikap atau pemahaman salah yang tumbuh subur di Indonesia adalah radikalisme.
Ketaatan warga negara Indonesia dalam beragama bahkan terkesan sangat religius membuat paham radikalisme dapat tumbuh dengan subur.
Radikalisme di Indonesia memang tumbuh dengan sangat subur. Namun apakah semua itu salah mereka yang taat beragama? Atau apakah itu salah pemuka agama mereka yang selalu mengujarkan kebencian kepada penganut agama lain? Jawaban sama sekali tidak.
Pemikiran radikalisme dapat bertumbuh dengan subur di Indonesia bukanlah salah siapa-siapa, melainkan pola pikir yang salah dan tidak pernah diperbaiki.