Baru-baru ini pemerintah kembali mengeluarkan sebuah kebijakan kontroversial. Yaitu larangan membuka lahan dengan cara membakar lahan. Sudah pasti yang terkena dampak dari kebijakan ini tidak lain adalah suku Dayak.
Tradisi yang sudah selama ribuan tahun dijalankan oleh masyarakat Dayak dilarang untuk dilakukan karena alasan kebakaran hutan. Kebijakan yang sangat tidak masuk akal dan cenderung asal-asalan, bahkan boleh dikatakan kebijakan ini muncul tanpa adanya observasi mengenai nilai tradisi, filosofi, dan ekonomi.
Larangan membakar ladang bukannya menjadi solusi bagi permasalahan yang ada. Sebaliknya kebijakan ini malah memunculkan masalah baru bagi kehidupan masyarakat Dayak, antara lain krisis pangan sampai Krisi multi dimensi di pedesaan (Kompas.id :29 Agustus 2022).
Kebijakan yang seharusnya mensejahterakan rakyat malah menyengsarakan bahkan menyiksa mereka secara perlahan. Kebijakan ini dapat menyiksa masyarakat Dayak secara perlahan karena mayoritas masyarakat Dayak Bertani dengan cara berladang.
Masyarakat Dayak yang kebanyakan adalah orang sederhana dengan perekonomian menengah kebawah, dipaksa untuk berhenti berladang karena terancam dihukum pidana karena membuka lahan dengan cara membakarnya.
Padahal selain sebagai sumber pangan ladang juga menjadi sumber penghasilan bagi mereka dengan cara menjual hasil panen. Mengeluarkan kebijakan larangan membakar lahan sama saja menghentikan sumber penghasilan mereka dan sumber pangan yang mereka punya.
Hal itu sama saja dengan membunuh mereka secara perlahan.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika suatu kebijakan itu dikeluarkan dengan memperhatikan aspek-aspek yang ada. Karena pada umumnya ladang bagi masyarakat Dayak adalah nyawa mereka sendiri. Dan jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan larangan pembakaran lahan, sama saja membunuh masyarakat Dayak secara perlahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H