Setelah kepergian chairil anwar atau "si binatang jalang" dunia sastra Indonesia mengalami penurunan drastis. Peminat sastra semakin berkurang, penyair handal mulai kehilangan arah dan pemahaman tentang makna sastra yang sebenarnya mulai menjadi bias.
Keadaan ini semakin diperparah dengan generasi baru yang tidak memahami betul apa makna sastra terkhususnya puisi.
Puisi yang seharusnya sakral, penuh makna dan permenungan di dalamnya telah berubah menjadi barang murahan yang bisa dibeli siapa saja. Hanya dengan bermodalkan gadget setiap orang yang ingin menulis puisi atau kata-kata indah tinggal mengcopy paste dari internet, tanpa bersusah payah untuk membuatnya sendiri.
Sikap yang tidak mengapresiasi sastra seperti ini membuat puisi yang sakral dan penuh dengan refleksi kehidupan dari penulisnya menjadi sia-sia. Hal ini membuat perjuangan "si binatang jalang menjadi sia-sia".
Kondisi zaman sekarang yang telah melupakan sastra sebagai karya religius dan filosofi membuat generasi ini mengalami disposisi batiniah, yang membuat mereka kekurangan akhlak. Mereka melupakan arti sesungguhnya dari peran puisi sebagai kotbah yang dapat menjadi penuntun akhlak.
Permasalahan ini sama dengan permasalah yang pernah dialami oleh para pandawa yang diwakili Yudistira ketika berjudi melawan pihak kurawa yang diwakili oleh Duryudana dan Sengkuni. Karena terlena oleh kemenangan Yudistira dan pandawa jatuh ke dalam perangkap sangkuni.
Dan pada akhirnya mengalami kekalahan yang fatal dengan kehilangan kerajaan Indraprasta dan diasingkan selama dua belas tahun. Seandainya Yudistira dan pandawa mendengarkan nasihat kresna sudah pasti tidak akan terjadi kekalahan yang berakhir pembuangan di pihak pandawa.
Begitu juga, dengan generasi yang melupakan peran sastra dan puisi sebagai kotbah sudah pasti generasi ini tidak mengalami krisis akhlak. Dan seandainya mereka dapat mengerti arti sesungguhnya dari puisi dan tidak menganggapnya hanya sebatas kata-kata indah. Maka sudah pasti kematian "si binatang jalang" tidak akan sia-sia.
Oleh karena itu, sebagai generasi muda bangs aini sudah selayaknya kita mencintai dan menghargai sastra sebagai mana mestinya. Dengan demikian, kita dapat terus memahami arti sesungguhnya dari kehidupan tanpa harus kehilangan akhlak dan harapan.
Setelah kepergian chairil anwar atau "si binatang jalang" dunia sastra indonesia mengalami penurunan drastis. Peminat sastra semakin berkurang, penyair handal mulai kehilangan arah dan pemahaman tentang makna sastra yang sebenarnya mulai menjadi bias. Keadaan ini semakin diperparah dengan generasi baru yang tidak memahami betul apa makna sastra terkhususnya puisi.