Lihat ke Halaman Asli

Julinda Jacob

Orang rumahan

Jilbabisasi Sekolah Negeri

Diperbarui: 24 Januari 2021   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ini cerita anak lanang 10 tahun lalu, saat masih SMP.  

Ketika pelajaran agama dia dipanggil gurunya yang mengira dia non muslim,
"Kamu Budha ?"
"Islam bu,"
"Coba baca surat Al fatihah,"
Dia baca surah Al Fatihah di depan kelas.

Sampai disini selesai ? Belum. Guru masih penasaran melihat anak saya berkulit putih, mata sipit, tubuh gempal.

"Orangtuamu keturunan Cina ?"
"Ga bu,"
"Namamu Raden, keturunan Jawa ?"
"Papah saya keturunan Bangsawan Cianjur, Raden Wirabrata. Trah Raden Aria Wiratanudatar, eyang dalem Cikundul, Jonggol (makam beliau jadi tempat wisata religi.red)

Puas dg jawaban anak saya, satu suku, satu bangsa, guru  menyuruhnya duduk kembali. Kami tertawa mendengar ceritanya seusai sekolah.
----
Entah apa yg terjadi di dunia pendidikan  saat ini. Makin kesini pemahaman kebhinekaan makin sempit. Sekolah negeri menjadi alergi dengan siswa/i non muslim. Perangkat sekolah negeri menerapkan kebijakan berbasis agama tertentu. Padahal sistem pendidikan nasional menerapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Pertanyaan pertanyaan yang ditujukan kepada anak saya, memaksakan siswi non muslim berjilbab seperti yang terjadi di SMKN 2 Padang sudah menyalahi prinsip penyelenggaraan pendidikan ; pelanggaran HAM, tidak adil, tidak menghargai nilai keagamaan dan kemajemukan. Menteri pendidikan harus tegas dan  perhati. 

Permintaan maaf atau memindahkan Kepala Sekolah saja  tidak cukup.  Sudah banyak kasus kasus diskriminatif di dunia pendidikan yang tidak terangkat ke permukaan. Saya mendengar dari anak anak  saya sikap diskriminatif dari guru  terhadap siswa/i non muslim. Guru tak ikhlas membagi ilmu. Padahal di salah satu sekolah negeri Favorit, NEM terbesar justru diraih siswa non muslim yg otomatis menaikkan pamor sekolah tersebut.

Putri saya pernah mengenyam pendidikan di Korea Selatan, negara minim muslim. Dia diperlakukan adil, non diskriminatif baik dalam pendidikan maupun menjalankan ibadah. Dia mendapatkan hak dan kewajiban yang sama.

Sejatinya muslim pun demikian, menghargai perbedaan, adil dan menjunjung tinggi HAM. Dalam sosial kemasyarakatan, banyak ayat yang memerintahkan berlaku adil,  bahkan untuk masalah keyakinan sekalipun kita tak boleh mengganggu gugat, untukmu agamamu dan untukku agamaku. Tetapi dalam kehidupan, nilai nilai islami tidak landing di masyarakat, seringkali dilecehkan, non penerapan, keukeuh merasa "paling".

Di era digital seperti saat ini, ilmu sangat berlimpah, tersebar di semua aplikasi. Sekolah hanya lembaga formal untuk mendapatkan ijazah. Banyak anak yang mendapat dan memanfaatkan ilmu dari media digital. Kalau sudah begini, keberadaan guru menjadi tidaklah penting. Di suatu masa, bisa jadi profesi guru hilang, digantikan media digital. Siapapun bisa mendapatkan ijazah dari ujian yang diselenggarakan negara. Karena itu, wahai guru beramallah dengan ilmu selagi bisa, dengan berlandaskan nilai nilai kemanusiaan dan prinsip universal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline