Lihat ke Halaman Asli

Julinda Jacob

Orang rumahan

Sisi Lain Raja Ampat, Papua Barat

Diperbarui: 11 Desember 2015   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keindahan alam Raja Ampat dengan keanekaragaman biota lautnya terkenal tiada banding, dan tiada tanding di dunia. Banyak wisatawan lokal, interlokal dan internasional takjub dengan keindahannya. Bahkan ada anekdot: "Tuhan menciptakan Raja Ampat sembari tersenyum". Inilah negeriku Indonesia, negeri penuh pesona, negeri tajir sumber daya alam dan keelokannya, membuat masyarakat luar tertarik untuk berkunjung, melihat, bahkan memiliki. Aku yang pertama kali menginjakkan kaki ke tanah perairan Raja Ampat, berdecak kagum dan mengucap “Subhanallah”. Mungkin di belahan benua lain ada yang lebih indah, namun Raja Ampat adalah rajanya....hehehe.

Dalam perjalanan wisata di Raja Ampat, aku melihat sisi lain kehidupan. Kehidupan anak-anak pulau, generasi muda Raja Ampat. Kala itu kami tengah menuju pulau Selpele untuk melapor dan minta ijin berlayar serta membayar tiket masuk ke Pulau Wayag. Kapten mendapat kabar bahwa cuaca di wayag kurang mendukung, ombak cukup tinggi, menyulitkan speedboat mengarungi lautan. Kapten menyampaikan berita ini ke ketua rombongan dan menyarankan menunggu di pulau Selpele hingga cuaca bersahabat.

Kapten mempercepat laju speedboat menuju Selpele. Dari kejauhan tampak sekelompok anak-anak berdiri di pinggir dermaga menyambut kehadiran kami. Beberapa menit kemudian mesin dimatikan, speeadboatpun mendarat. Satu per satu penumpang keluar, naik untuk mengaso dan melakukan aktifitas kejiwaan lainnya. Aktifitas utama yang wajib dan penting dalam suatu perjalanan wisata adalah “selfie” sebagai bukti dan kenangan untuk masa depan.

Kami pun melakukan aktifitas utama ini, bergantian berpose dengan anak-anak Selpele dengan berbagai gaya baik selfie maupun wefie. Sungguh sensasi tersendiri berselfie ria dengan anak-anak Selpele yang unik, berkulit gelap, rambut keriting mengkilat khas ras Austroloid, mirip suku Aborigin, Australia.

Serunya berselfie tidak menyurutkan perut tetap lantang bersuara. Saka, pemandu wisata menyiapkan sarapan tertunda yang telah dibekali pihak resort untuk diperjalanan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIT, sudah tak tepat disebut breakfast/sarapan, lebih tepat brunch, makan diantara waktu sarapan dan makan siang. Penyakit kronis makan di jam tanggung begini adalah ngantuk!!

Bayangkan, tidur pukul 10,00 pagi, benar-benar menunjukkan kemalasan yang hakiki. Untuk menghilangkan kantuk, aku mengeluarkan ponsel, mencoba mengirim mesej ternyata pending, hanya ada segaris sinyal. Aku segera berdiri, berjalan ke pinggir dermaga. Matahari kian meninggi, udara cukup panas. Seorang anak perempuan sedang memancing ikan di pinggir dermaga, dia melempar pancing tanpa umpan, tak lama kemudian dia menarik kembali pancingnya, dan seekor ikan kembung ukuran sedang meliuk liuk meronta ingin melepaskan diri dari mata pancing.

Si anak perempuan membanting ikan itu, mati, dan meletakkannya di lantai dermaga lalu melempar pancing kembali. Kudekati dia dan bertanya, dia tersenyum mengatakan untuk lauk makan siang. Sementara itu, disisi lain dermaga, sekelompok anak-anak bercengkrama gembira sembari mengunyah biskuit yang kami bagikan. Aku memperhatikan sekelilingku, kampung Selpele cukup bersih, ada SPBU kecil menjorok ke daratan, ada toilet air tawar di ujung jembatan dermaga, tidak ada sampah ataupun kotoran yang mengambang di atas air, perairannya bersih dan jernih, disudut dermaga disediakan kotak sampah. Andai ada penghargaan Adipura Laut, Raja Ampat juaranya.

Kembali ke sekumpulan anak-anak Selpele. Aku tersadar hari ini kamis, hari dan jam kerja. Mestinya anak-anak ini berada di ruang sekolah, menuntut ilmu, bernyanyi, mendengar ceramah guru atau kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Kuhampiri mereka yang mulai mengantuk, sebagian masih menguyah sisa biskuit yang tadi kami bagikan. Kuminta mereka bernyanyi.

Spontan serentak mereka menyanyikan lagu-lagu daerah Papua yang riang dan menghentak-hentak seolah-olah mau perang. Selesai bernyanyi aku bertanya apakah mereka pada sekolah? semua menjawab sekolah kelas 1, 2,3 hingga kls 6 SD.

“Kalau sudah SMP kami sekolah di Waisai karena disini tidak ada SMP” ujar salah satu anak yang badannya lebih tinggi dibanding temannya yang lain.

“Apakah hari ini sekolah libur?” aku lanjut bertanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline