Lihat ke Halaman Asli

Julie Chou

short strory author

Mata, Mataku, dan Surabaya

Diperbarui: 10 November 2022   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Zangrandi. doc pribadi)

Sepuluh pemuda bertelanjang kaki bergerak ke arahku. Dari sebelah selatan lebih banyak lagi, jumlahnya mungkin lima puluh. Lalu dari sebelah barat, sebelah utara. Jumlah mereka terus bertambah, bergerak mendekat. Aku menyilangkan kedua tangan di depan kepala. Tetapi aku terkejut, barisan pemuda itu melewatiku seperti gambar hologram.

                         

"Atau aku yang sebenarnya gambar hologram itu!? Sementara mereka benar-benar nyata," batinku, setelah barisan itu melewatiku dan bergerak menuju Hotel Yamato.

Di sebelah utara Hotel Yamato, bendera Belanda tengah menari di atas angin. Dari tempatku berdiri, aku mendengar gemuruh di dada barisan pemuda Indonesia. Menahan marah atas sikap Belanda yang belum mau mengakui kedaulatan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Mataku melihat dinding hotel serupa plastik transparan. Dimana ada Soedirman, yang dikawal Sidik dan Hariyono tengah berunding dengan Mr. Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda yang mengundang kemarahan, bukan hanya warga Surabaya, tapi seluruh Indonesia. Ploegman keras kepala, ia tidak mau menurunkan bendera Belanda, perundingan memanas, dan Ploegman tewas di tangan Sidik.

Lalu, mataku mulai melihat kekacauan yang sudah tak mampu diredam. Sebagian pemuda Indonesia berebut naik ke atas hotel. Hariyono kembali ke dalam hotel, memanjat tiang, dan bersama Koesno Wibowo ia berhasil menurunkan bendera Belanda. Merobek warna birunya, biru jatuh, menjadi haru. Pemuda Indonesia, tanpa alas di kakinya, tanpa baja melindungi dadanya, tak pernah takut membela negaranya.

Mataku melihat sisi lain Surabaya, ada banyak perempuan yang meneteskan air mata. Seorang ibu yang kehilangan putranya, istri kehilangan suaminya, anak kehilangan ayahnya. Aku tahu, ini belum berhenti, Belanda tidak akan menyerah secepat ini. Akan ada pertempuran yang lebih besar lagi setelah ini. Pertempuran di Surabaya yang akan terus diingat sampai anak cucu kami.

Tanpa kusadari, sepasang mata biru menatapku sinis. Dia mengarahkan moncong pistolnya ke arahku. Tetapi aku tetap meyakini salah satu dari kami adalah hologram, peluru itu tidak akan melukai.

"Dor!" Aku salah.

"Dor!" Tembakan kedua, aku roboh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline